Masa itu, musik identik dengan budaya Arab dan menjadi bagian dalam peradaban Islam. Bisa jadi awal - awal musisi Barat memainkan musik klasik, bakal dicap masyarakatnya sebagai kaum "Mozarabic". Istilah buat mereka yang ke Arab - Araban.

Jadi, musik itu hanyalah pilihan bagi umat Islam. Bukan barang baru. Bagi yang mau mendengar ya monggo, bagi yang tak mau mendengarpun ya biasa saja.

Khilafiyah itu sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat. Perbedaan itu malah menjadikan mozaik khazanah Islam semakin menawan. Oleh Rasulullah, para sahabat dilatih agar kaya akan bermacam hujjah (argumentasi).

Tak ada saling sindir ketika ada yang menutup kupingnya saat terdengar musik. Toleransi itu sangat kuat dalam ajaran Islam. Jangankan sesama kaum Muslimin. Kepada non Muslim, Islam memberi hak yang sama.

Sekiranya Al - Mausili dihidupkan kembali, ia pasti terkaget - kaget melihat dan mendengar musik di peradaban ini. Senandung mutiaranya   terlalu jauh dibawa keluar dari karakter umat Islam, menjalar ke ruang - ruang larangan sehingga tak salah Rasulullah SAW  mengkhawatirkan akibatnya kepada kaum muslimin. 

Aku sendiri sebenarnya termasuk dalam barisan yang tidak mengharamkan musik, tentu dengan sederet persyaratan. Namun beberapa tahun belakangan ini, justru  semakin jarang mendengarnya, kecuali di momen - momen tertentu bersama keluarga.

Kadang aku berhayal datang di zaman keemasan itu. Berada dalam mercusuar peradaban Islam. Menghidu wangi malam di sana. Bersamanya, berdua jelajahi setiap lekuk sudut jalanan, saat para penyair membanjiri negeri indah itu dengan  puisi - puisi cinta.

Jika terdengar tembang dari jauh, pastilah senandung dari mutiara - mutiara yang terurai, berdenting menaburi satu persatu anak tangga istana di puncak bukit.

Nada - nada indah itu semakin syahdu. Dan akupun ikut bersenandung, mengikuti turun naik harmoni  tangga nada Durr Mufassal. Merdu mengalun dari kebun mawar di kekhalifahan. Wallahu a'lam bishowab (*)

Geldrop, 16 Safar 1443 H.