Harusnya, kemajuan zaman yang begitu cepat dengan ragam teknologi yang tersaji dan kemudahan publik mengontrol pelaksanaan pembangunan,  baik hasil dan efeknya, pemerintah harus lebih smart mencetuskan program pembangunan yang ramah dan nyaman bagi warganya.

Pendeknya, anak cucu, Putuhena harus lebih baik dalam berkarya. Bukan malah sebaliknya. Di zaman itu para  Founding Fathers bergegas membangun negeri tanpa harus melalui mekanisme berbelit-belit. Dalam konidisi yang masih dihantui desingan peluru, dentuman bom dan ancaman pengasingan dari kaum kompeni Belanda, mereka berhasil merancang pembangunan dengan sukses.

Saat ini, melahirkan sebuah konsep pembangunan harus dilalui dengan beragam mekanisme dan regulasi, malah kita masih disuguhkan dengan hasil yang mencelakakan penggunanya [masyarakat].  

Pemerintah daerah harusnya jangan bersikap apriori terhadap apa yang terjadi saat ini. Sebagai pelaksana pembangunan,  harus bersikap empirisme dengan melihat fakta yang terjadi saat ini,  dari apa yang dihasilkan dan dirasakan masyarakat.

Sampai kapan trotoar di kota bertajuk manise ini menjelma menjadi dodeso?  Masyarakat tentunya tidak ingin tahu bahkan tidak pusing dengan apa yang menjadi penyebab trotoar itu diperbaiki dan dirubah menjadi kondisi terbaru saat ini.

Yang menjadi masalah, ketika perubahan yang dinilai urgen itu malah menjadi petaka bagi mereka. Baiknya kemelut trotoar ini dapat diselesaikan dengan bijak sebelum menjadi petaka berjamaah bagi kita semua. Ingat  kata Theodore Roosevelt : "Arahkan mata Anda pada bintang-bintang dengan kaki tetap berpijak pada tanah."  (*)