Akademisi dan Praktisi Harus Bebas Nilai dan Paham ‘End To End Process’
Dr. Early Leiwakabessy lupa bahwa setiap akhir tahun maka pasti terjadi kenaikan konsumsi rumah tangga karena menghadapi berbagai kegiatan keagamaan, dan hari-hari besar lainnya, sementara konsumsi pemerintah naik sangat berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan realisasi penggunaan anggaran akhir tahun untuk meningkatkan tingkat serapan anggaran.
Dengan demikian maka pertumbuhan 3,04% lebih disebabkan oleh kekuatan konsumsi, dan ini bagi saya menggambarkan fundamental ekonomi Maluku yang rapuh. Seharusnya pertumbuhan ekonomi bukan tergantung kepada konsumsi tetapi pada kemampuan sector riil. Atas dasar itulah maka saya mengatakan bahwa pertumbuhan 3,04% bukan sebuah prestasi, salahnya dimana.?
Jadi di dalam memahami angka pertumbuhan tidak hanya melihat angka absulut semata, tetapi sebagai ekonom kita harus membuat interpretasi ekonomi sesuai dengan fakta pembangunan yang ada dan ikut mempengaruhi satu dengan yang lain (interdependensi dan interplay). Jangan hanya melihat selisih angka absulut dari tahun ke tahun tanpa melihat volatilitas dan varibel atau faktor pembentuk lainnya.
Disi lain perlu diketahui bahwa sekalipun PDRB Maluku naik dari tahun ke tahun baik harga berlaku (HB) maupun harga konstan (HK), akan tetapi secara nasional posisi Maluku adalah urutan ke 3 (tiga) PDRB terendah seluruh Indonesia Rp. 46.153 triliun pada tahun 2019, dan Pada tahun 2021 PDRB Maluku merosot menjadi urutan ke 2 (dua) terndah seluruh Indonesia Rp. 48.564 triliun.
Pertanyaan saya kepada Dr. Early Leiwakabessy apakah pertumbuhan 3,04% yang dibanggakan sebagai sebuah prestasi itu sudah mampu menyelesaikan masalah-masalah pengangguran dan kemiskinan serta ketimpangan sektoral, ketimpangan antar daerah di Maluku?.
Fakta dan data membuktikan bahwa persoalan-persoalan tersebut masih menggurita di Maluku. Pengangguran Maluku Februari 2019 sebesar 6,16% tertinggi urutan ke-5 setelah Jabar, Banten, Kep. Riau dan Kaltim, dan pada Agustus 2019 naik menjadi 6,69% dan menempati posisi ke4 tertinggi se Indonesia setelah Banten, Jabar dan Kep. Riau.
Pada Februari 2021 posisi Maluku secara nasional adalah urutan ke-7 dengan TPT sebesar 6,73% atau 56.301 orang yang nganggur dari 836.171 angkatan kerja (labor force) dan pada Agustus 2021 naik peringkat pada posisi ke-6 tertinggi se Indonesia dengan TPT sebesar 6,93% atau 59.589 ribu orang yang nganggur dari total angkatan kerja (labor force) 860.344 ribu orang.
Pada Februari 2022 angka persentasi pengangguran Maluku 6,44% dan menempati posisi ke-7 se Indonesia atau terjadi penurunan 0,49 poin persen dari Agustus 2021. Akan tetapi secara tahunan (Februari 2021-Februari 2022) maka terjadi penurunan hanya sebesar 0,29%.
Fenomena pengangguran Maluku menjadi persoalan serius karena berkaitan dengan aspek ekosnomi dan sosial masyarakat atau rakyat Maluku.
Kondisi pengangguran yang saya gambarkan di atas bukan saja disebabkan karena lesunya aktivitas ekonomi sebagai akibat pandemi tetapi juga disebabkan karena rendahnya kinerja ekonomi Maluku pada triwulan III 2021 yang mengalami pelambatan pertumbuhan 4,12% (yoy) jika dibandingkan dengan triwulan II 2021 sebesar 4,56% (yoy) setelah mengalami kontraksi sejak triwulan I 2020 sampai dengan triwulan I 2021, masing-masing -1,09%; -2,60%; -3,42% dan -1,77%.
Dari data ini jelas menunjukan bahwa baik data quartalan dan tahunan menunjukan perkembangan ekonomi yang tidak stabil yang disebabkan oleh banyak faktor, namun bukan kemudian faktor-faktor tersebut lalu dijadikan argumentasi pembenaran atas ketidakstabilan yang ada.