BERITABETA.Com, Masohi - Lembaga Kewang “polisi kampung” merupakan salah satu instrumen masyarakat hukum adat yang berakses secara langsung dengan wilayah hutan dan laut masyarakat adat suatu daerah, atau popular disebut hak ulayat (wilayah petuanan).

Dr. Reny H Nendissa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon mengatakan, persiapan kewang muda sangat penting, karena di satu sisi, ia adalah pranata adat yang mestinya dilestarikan bukan saja soal aspek kelembagaannya, tapi fungsi dan kewenangannya sangat berdampak pada lingkungan, yang sekarang ini menjadi masalah besar.

Tatanan adat ini, kata dia, merupakan kearifan sekaligus kehormatan lokal yang sebenarnya punya nilai besar, apalagi dengan adanya kewang muda. Karena ada beberapa persoalan masyarakat adat di Maluku khususnya Kabupaten Maluku Tengah sampai sekarang masih bermasalah seputar struktur Pemerintah Desa Adat atau Pemerintah Negeri.

“Ada negeri-negeri yang sampai saat ini masih bermasalah soal mata rumah parentah (turunan yang memerintah), dan akan berdampak pada kinerja dari kewang itu sendiri,” jelas Akademisi Unpatti Ambon ini saat menjadi narasumber dalam School of Eco Diplomacy, yang digelar Yayasan EcoNusa dan MCC, di Kampung Laga Gunung Api Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pekan kemarin.

Dalilnya berdasarkan struktur lembaga adat, penentuan Kepala Kewang tidak bisa menunjuk sembarangan orang, tetapi bersandar pada marga atau garis keturunan tertentu.

“Tetapi sebagai kewang, semua orang punya tanggungjawab untuk menjaga lingkungan, tinggal bagaimana diberikan pemahaman,” jelasnya.

Dari sisi lain, menuurt Nendissa, kewang juga harus memperkuat literasi dan memahami permasalahan-permasalahan hukum, serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Karena ke depan mereka tidak saja berhadapan dengan lingkungan secara alamiah, tapi juga kebijakan-kebijakan serta berbagai aturan lain.

“Yang menjadi bekal penting bagi kewang muda adalah punya literasi dan memahami sungguh tentang hukum dan hukum lingkungan,” ujar Nendissa.

Menurut dia, pengetahuan literasi itu penting. Jadi bukan saja soal pengetahuan modern, tapi kearifan lokal sendiri juga harus dipahami.

“Kewang adalah penjaga hutan, penjaga lingkungan, tapi kalau dia tidak tahu tentang nanaku (cara mengamati), tanoar (musim/waktu yang telah dibagi), serta di mana batas-batas batu pamali, juga masalah,” jelasnya.

Sehingga menjaga lingkungan butuh literasi, termasuk perpaduan antara adat dan modern. Digitalisasi yang menjadi bagian dari perkembangan modern juga harus dikuasai oleh kewang-kewang muda itu.

“Yang pasti semua orang ingin tahu informasi. Ketika kewang muda ini muncul, saya pikir akang ada apresiasi luar biasa, walaupun nantinya ditata lagi. Para kewang muda ini harus diupdate terus. Karena akan menjadi ‘virus’ kebaikan bagi orang lain,” pungkas Nendisa. (BB-TAN)