BERITABETA.COM, Jakarta – Penantian panjang sejumlah pihak terkait pengesahakan  Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang, akhirnya resmi disahkan DPR RI.

RUU TPKS sebagai beleid resmi usulan DPR. Sebelumnya, beleid ini dibahas intensif hanya di Badan Legislasi DPR.

Pengesahan itu dibacakan dalam rapat paripurna DPR hari ini, Selasa, (18/1/2022) dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.

“Selanjutnya DPR menunggu surat Presiden yang akan menunjuk wakil pemerintah untuk membahas RUU ini bersama DPR,” kata Puan dalam sambutannya usai mengetok palu pengesahan. “Berikut juga dengan daftar inventarisasi masalah dari pemerintah.”

Seluruh fraksi menyetujui pengesahan tersebut. Namun fraksi-fraksi juga memberikan sejumlah catatan.

PDI Perjuangan, misalnya, menginginkan RUU ini nantinya juga memuat isu penyimpangan seksual. Adapun Fraksi Partai Gerindra menginginkan beleid ini nantinya juga memiliki paradigma pencegahan—bukan hanya fokus pada penindakan kekerasan seksual.

Pembahasan RUU ini sudah berlangsung di DPR setidaknya sejak 2016 dan baru mulai insentif dibahas dalam setahun terakhir. Namanya juga berubah dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Selain RUU TPKS, DPR juga mengesahkan RUU Ibu Kota Negara menjadi undang-undang dalam paripurna hari ini.

Sebelumnya, Jaringan Masyarakat Sipil [JMS] untuk advokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual [RUU TPKS] meminta kerja kolaboratif percepatan pengesahan RUU TPKS antara Pemerintah dan DPR RI yang tetap bersandar pada kepentingan penghapusan kekerasan seksual.

Salah satu aktivis yang tergabung dalam JMS, Rena Herdiyani dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Kamis (6/2/2022) menegaskan, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bersama, menjadi angin segar bagi korban. Apalagi, Presiden juga mendorong langkah-langkah percepatan pengesahan RUU yang hingga kini masih berproses.

“Kami sangat mengapresiasi dukungan yang telah diberikan oleh Presiden,” tandasnya.

Dijelaskan, perjuangan JMS dalam mengawal advokasi sejak tahun 2016 ini, bertujuan untuk menghadirkan kebijakan substantif. Dan ini perlu terus digaungkan.

Sejalan dengan itu, kata dia, Presiden RI  juga meminta kepada Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan bersama akan lebih cepat.

Hal senada juga disampaikan Kekek AD Harijanti. Menurutnya, dalam kesempatan lain, Pimpinan DPR RI, Puan Maharani juga telah menanggapi positif arahan Presiden Jokowi untuk melakukan percepatan proses pembahasan dan menjanjikan bahwa RUU TPKS akan menjadi bagian yang dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI 13 Januari 2022.

“Saat ini RUU TPKS telah  menjadi inisiatif DPR dan pada Rapat Paripurna 16 Desember 2021 sempat gagal untuk dibahas,” ungkapnya.

Untuk itu, kata dia, JMS memandang upaya pengawalan harus tetap terus dilakukan secara intens oleh semua pihak untuk memastikan substansi yang komprehensif dan memenuhi kebutuhan korban, keluarga korban, serta pelindungan pendamping di lapangan.

“Kami juga mengapresiasi Badan Legislasi DPR RI yang selama ini telah melakukan kerja intens bersama Jaringan Masyarakat Sipil dengan mengakomodir beberapa usulan  tim penyusun Naskah  RUU TPKS dari masyarakat sipil, kendati masih ada beberapa poin yang belum diakomodir,” pungkas dia.

Dikatakan, lima poin dimaksud  meliputi bentuk kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran), hukum pidana dan hukum acara yang komprehensif, pelindungan pendamping korban, pemulihan hingga aturan yang jelas dalam penyelengaraan layanan bagi korban. 

“Kami merasa keberatan jika Draf RUU TPKS memasukan beberapa pengaturan terkait tindak kesusilaan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pengaturan pidana kekerasan seksual. Aspek kesusilaan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang lain, salah satunya KUHP,” sambung aktivis Perempuan Maluku Lusi Peilouw.

Menurut Lusi, tindak lanjut penyusunan RUU TPKS ini harus dikembalikan lagi kepada spirit perlindungan substantif terhadap korban, anggota keluarga, dan pendamping korban. Juga pengaturan pemulihan, pencegahan, rehabilitasi, pemidanaan yang memenuhi segala unsur tindakan kekerasan seksual yang selama ini tidak dijamin dalam Undang-Undang dan kebijakan lainnya. 

“Terutama bagi korban yang selama ini sulit mendapatkan keadilan karena pranata adat dan minimnya sumber daya penegakan hukum di daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal [3T],” pintanya (BB)

Editor : Redaksi