Sejalan dengan itu, kata dia, Presiden RI  juga meminta kepada Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan bersama akan lebih cepat.

Hal senada juga disampaikan Kekek AD Harijanti. Menurutnya, dalam kesempatan lain, Pimpinan DPR RI, Puan Maharani juga telah menanggapi positif arahan Presiden Jokowi untuk melakukan percepatan proses pembahasan dan menjanjikan bahwa RUU TPKS akan menjadi bagian yang dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI 13 Januari 2022.

“Saat ini RUU TPKS telah  menjadi inisiatif DPR dan pada Rapat Paripurna 16 Desember 2021 sempat gagal untuk dibahas,” ungkapnya.

Untuk itu, kata dia, JMS memandang upaya pengawalan harus tetap terus dilakukan secara intens oleh semua pihak untuk memastikan substansi yang komprehensif dan memenuhi kebutuhan korban, keluarga korban, serta pelindungan pendamping di lapangan.

“Kami juga mengapresiasi Badan Legislasi DPR RI yang selama ini telah melakukan kerja intens bersama Jaringan Masyarakat Sipil dengan mengakomodir beberapa usulan  tim penyusun Naskah  RUU TPKS dari masyarakat sipil, kendati masih ada beberapa poin yang belum diakomodir,” pungkas dia.

Dikatakan, lima poin dimaksud  meliputi bentuk kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran), hukum pidana dan hukum acara yang komprehensif, pelindungan pendamping korban, pemulihan hingga aturan yang jelas dalam penyelengaraan layanan bagi korban. 

“Kami merasa keberatan jika Draf RUU TPKS memasukan beberapa pengaturan terkait tindak kesusilaan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pengaturan pidana kekerasan seksual. Aspek kesusilaan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang lain, salah satunya KUHP,” sambung aktivis Perempuan Maluku Lusi Peilouw.

Menurut Lusi, tindak lanjut penyusunan RUU TPKS ini harus dikembalikan lagi kepada spirit perlindungan substantif terhadap korban, anggota keluarga, dan pendamping korban. Juga pengaturan pemulihan, pencegahan, rehabilitasi, pemidanaan yang memenuhi segala unsur tindakan kekerasan seksual yang selama ini tidak dijamin dalam Undang-Undang dan kebijakan lainnya. 

“Terutama bagi korban yang selama ini sulit mendapatkan keadilan karena pranata adat dan minimnya sumber daya penegakan hukum di daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal [3T],” pintanya (BB)

Editor : Redaksi