Waktu terus berganti. Sang Qadhi mencoba menguji nasib di negeri seberang dengan menumpang sebuah kapal. Dalam perjalanannya, kapal yang ditumpangi terhempas gelombang dahsyat, menghancurkan badan kapal.

Berjuang mempertahankan nyawanya, ia bertaut pada pecahan papan - papan yang mengapung, terombang ambing ia di tengah laut hingga pada akhirnya terdampar di sebuah daratan.

Dengan sisa - sisa tenaganya, ia melihat sebuah masjid di situ lalu menyeret seluruh badannya mencapai rumah Allah yang mungkin bisa menolongnya.

Benar saja, di waktu sholat itulah orang - orang menemukannya. Ada yang memberikan makanan, ada pula yang memberikan pakaian. Tinggallah ia di mesjid itu selama beberapa waktu.

Kefasihan membaca ayat - ayat Allah dan hafalan Al - Qur'annya mengantarkannya dipilih masyarakat setempat menjadi imam di mesjid itu, sekaligus mengajari anak - anak mereka membaca dan menulis.

Suatu waktu, datanglah seorang yang dituakan di masyarakat itu, memintanya untuk menikahi seorang gadis yatim. Singkat cerita pernikahan itupun terlaksana. Namun berita tak sedap datang dari si gadis yatim keesokan harinya. Dengan isakannya, ia mengadukan sang Qadhi kepada orang tua yang menikahkan mereka.

"Sesungguhnya dia (Al-Qadhi) tidak ingin melihat wajahku, dia hanya mengangkat pandangannya ke kalung yang menggelantung di dadaku, " tutur wanita itu.

Besoknya, setelah mengimami masyarakat sholat subuh, beberapa orang tua mendekatinya, meminta penjelasan tentang aduan gadis yatim ini.

Lalu ia menjelaskan, "Sebenarnya mataku terpaku pada kalung yang dipakai istriku itu, sebab mengingatkanku akan sebuah kalung yang kutemukan di Mekkah dan ku kembalikan kepada pemiliknya. Mengapa ada padanya ? "

Tiba - tiba, mereka yang mendengarkan ini spontan bertakbir,  "Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar ". Semakin hari semakin menggemuruh. Suara takbir menggema menggetarkan rumah Allah.