Demi menghindari hukuman, produsen Sinte menggunakan zat-zat psikoaktif yang tidak atau belum digolongkan sebagai narkotika oleh pemerintah. Sesuai namanya pula, Sinte merupakan narkoba yang sepenuhnya berbahan baku sintetis.

Karena kerap disebut sebagai “ganja sintetis”, konsumen ganja pun menjadi segmen potensial dalam pemasaran narkoba yang masih tergolong baru ini. Terlebih, wujud sinte yang paling banyak dipasarkan adalah tembakau kering yang cara konsumsinya, kecuali yang berwujud cairan, sama seperti nyimeng.

Selain aman dari sanksi pidana, para produsen juga mendapat keuntungan dari popularitas ganja. Ketenaran tersebut turut dimanfaatkan dalam pemasaran Sinte.

Survei yang dilakukan BNN bersama PPK UI pada 2017, menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang mengonsumsi ganja sebanyak 1,7 jutaan orang. Dengan jumlah tersebut, ganja menjadi narkoba yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Pengembangan varian bahan baku sinte terus dilakukan supaya hukum berupa daftar penggolongan narkotika tidak bisa memidanakan baik produsen maupun konsumennya.

Penyebutan “ganja sintetis” terutama dilakukan produsen sinte supaya konsumen ganja di Indonesia, yang diperkirakan jumlahnya hampir dua juta orang, berminat untuk menjajal giting ganja legal dan membeli narkoba tersebut.  Ini merupakan strategi pemasaran yang sekadar mendompleng popularitas ganja. Padahal, efek zat sintetis tidak sama, bahkan sangat berbeda dengan efek ganja alamiah.

Efek yang diharapkan tidak terjadi lantaran zat psikoaktif sinte mengikat reseptor ganja di otak terlalu kuat dan berlebihan. Padahal, sinte telah dirancang sekian lama dengan berbagai macam zat aktif yang terus mengalami pergantian supaya bisa mengikat reseptor tersebut sebagaimana dilakukan oleh zat psikoaktif tanaman ganja, delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) (BB-YP-DIO)