Hak Pemohon PHP

Menurutnya, sesuai ketentuan Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan ini telah ditetapkan dalam pasal 156  ayat (1)  UU 10/2015  tentang Perubahan kedua UU 1/2015 tentang Pemilihan  menyatakan Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.

Ayat (2) menegaskan Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Namun, tambahnya, untuk dapat mengajukan PHP ke MK, Pemohon harus memperhatikan ketentuan dan syarat dalam Pasal Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016, jika selisih perolehan suaranya berada dalam ambang batas mengajukan permohonan PHP.

“Selisih ambang batas itu berada dalam kisaran 0,5 % -2 % sesuai jumlah penduduk dalam ayat (1) untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan ketentuan jumlah penduduk dalam ayat (2) untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota,” urainya.

Untuk itu, lanjut Almudatsir, sesuai ambang batas Pasal 158 ayat (2) tersebut, maka tiga kabupaten di Maluku  yang terdapat permohonan PHP berada dalam kualifikasi 2 %, karena penduduknya  kurang dari 250 ribu jiwa.

“Jadi KPU sebagai Termohon  akan melakukan eksepsi pemenuhan syarat formil dalam Pasal 158 UU 10/2016, jika PHP yang diajukan Pemohon tidak memenuhi syarat Pasal 158 UU 10/2016 tersebut,” tandasnya.

Selanjutnya, jika eksepsi KPU diterima, MK dapat memutus dalam pemeriksaan pendahuluan, PHP Pemohon tidak dapat diterima dan PHP Pemohon  tidak dapat diperiksa lebih lanjut dalam pokok perkara PHP.

KPU juga mengantisipasi jika MK menolak eksepsi Termohon berkaitan dengan penerapan Pasal 158 UU  10/2016, sehingga MK memeriksa ketentuan tersebut dalam pokok perkara, dan akan diputus bersamaan dengan putusan akhir.

Hal ini perlu diantisipasi KPU, karena MK tidak mengadopsi ketentuan Pasal 158 UU 10/2016 tersebut,  dalam Peraturan MK berkaitan pedoman beracara di MK, seperti Peraturan MK sebelumnya dalam Pemilihan 2015, Pemilihan 2017 dan Pemilihan 2018.

Ini artinya MK dapat saja terikat atau tidak terikat dengan norma Pasal 158 UU 10/2016, dalam pertimbangan hukum putusannya. Seperti putusan MK sebelumnya, dimana MK mengadopsi Pasal 158 UU 10/2016 sebagai syarat formil PHP.

“Intinya, apapun skenario sidang dan pembuktian di MK, KPU akan siap dengan  jawabannya untuk menguji kebenaran  keputusan penetapannya,” tutupnya (BB-DIO)