Ibu, Mari Mengeja Kembali Cinta Allah
Diantara sederet aturan, ada hukum yang harus dipatuhinya. Hukum ini telah berlaku selama kurang lebih 200 tahun. Dalam undang - undang yang dibuat pada tahun 1830 itu, anggota kerajaan Belanda dan Belgia dilarang mengikat cinta dalam sebuah pernikahan.
Bisa jadi haram juga hukumnya ketika cinta sang putri tersangkut di hati pemuda Arab meskipun dalam level yang sama, seorang pangeran.
Tak lain karena harkat dan martabat kerajaan ada dalam genggamannya. Ada tanggung jawab teramat besar menanti sang putri di singgasana. Termasuk urusan hati, ke mana layaknya ditambatkan.
Anehnya, ketika ada aturan hampir menyerupai jenis ini berlaku bagi putri - putri kita umatnya Rasulullah SAW, justru terlihat janggal dalam masyarakat kekinian. Umat Muslim dianggap sedang berlari mundur ke zaman prehistory.
Sejarah mencatat ada satu masa dimana penduduk Makkah berada di titik nadirnya. Kerusakan moral terjadi dimana - mana, tanpa ada yang peduli. Masa itu kita kenal dengan masa jahiliyah.
Masyarakat Makkah hidup dalam kebebasan. Berbagai bentuk perzinaan " dilegalkan " dalam ikatan yang mereka sebut pernikahan.
Imam Mawardi menulis dalam kitabnya " Al - Hawi - Al Kabir ". Beliau menjelaskan jenis - jenis pernikahan yang telah dilarang dalam syariat. Pernikahan itu adalah pernikahan Al - Istibdhâ, Al - Rahth dan Al-Râyah.
Pernikahan Al - Istibdhâ adalah pernikahan dimana seorang suami meminta istrinya pergi kepada lelaki terpandang dan meminta dicampurinya. Si suami akan menjauhinya dan tidak menyentuhnya hingga istrinya hamil dari keturunan yang dianggap membawa kehormatan keluarga.
Pernikahan berikutnya adalah pernikahan Al - Rahth, yaitu seorang wanita " menikahi " kurang dari 10 laki - laki. Bila terjadi kehamilan, si wanita bebas menasabkan anaknya kepada lelaki yang ditunjuknya. Tak boleh ada yang menolak keputusannya.
Lalu pernikahan Al - Râyah. Pernikahan ini adalah pernikahan yang dibuat sendiri oleh perempuan jahiliyah. Ia menancapkan bendera di depan rumahnya sebagai " kode " bagi siapa saja lelaki yang mau datang padanya.
Jika hamil. Ia akan meminta seorang Qa'if [orang pintar yang " katanya " bisa mengamati keturunan janin dalam perut ] untuk menunjuk siapa bapaknya. Keputusan Qa'if tak bisa diganggu gugat. Yang ditunjuk tak boleh menolaknya.
Naudzubillahi mindzalik !
Ibunda kita Aisyah, RA meriwayatkan satu hadits, "Ketika diutus membawa kebenaran, Muhammad membatalkan semua pernikahan jahiliyah itu, kecuali pernikahan seperti yang dilakukan orang - orang sekarang "
Itulah pernikahan Al - Wilâdah. Pernikahan dengan niat mendapatkan keturunan, membentuk sebuah keluarga.
Dalam pernikahan ini, seorang lelaki mendatangi wali si perempuan, meminangnya dengan baik. Ia menyerahkan mahar sebagai imbalan dan penghargaan kepada si wanita atas kesediaan untuk dihalalkan dan dinikahi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebutkan, "Aku dilahirkan dari sebuah pernikahan [yang dibenarkan] , bukan dari perzinaan ".
Cahaya itu telah dihantarkan manusia paling mulia Rasulullah SAW, 1500 tahun lalu. Islam telah menyelamatkan jazirah Arab dari belenggu kebodohan. Binarnya kemudian menyebar ke seantero bumi. Mengeluarkan manusia dari kegelapan.
Kini periode jahiliyah itu hadir kembali dengan berganti wajah lebih lembut dan mempesona.
Kita digempur dari segala arah dengan nilai - nilai liberal masyarakat Barat yang nota bene mengalami trauma beragama.