Lembaga ini berbeda dengan Baitul Mal yang berfungsi sebagai Badan Penyimpanan Keuangan Negara sejak zaman Rasulullah.

Orang - orang fakir dari kalangan Ahlu Dzimmi ( non muslim yang tinggal di negara Islam) dan orang - orang yang lemah, oleh Umar tidak terkena jizyah.

Atas kebijakan Khalifah, non muslim dibolehkan masuk ke tanah suci Madinah  hanya dalam tempo 3 hari, semata - mata untuk urusan perdagangan.

Disamping membangun panti - panti sosial di setiap kota, Khalifah Umar juga membangun tempat - tempat peristirahatan untuk jama'ah haji sepanjang jalan menuju Makkah, lengkap dengan makanan dan tempat - tempat unta melepaskan lelah.

Bahkan pemimpin kaum Muslimin ini menyediakan lembaga khusus semacam rumah persinggahan bagi para musafir.

Tersebutlah di tahun 71 Hijriyah, Khalifah Umar  perintahkan membangun rumah persinggahan musafir dengan fasilitas lainnya secara gratis.

Tempat ini sekaligus sebagai tempat menyambung ukhuwah. Dar adh-Dhiyafah namanya. Rumah untuk menyambut para tamu berbuka puasa.

Tak ada alasan lain, sesungguhnya sang Amirul sedang meneruskan tradisi buka bersama ala Rasulullah SAW.

Awalnya sejumlah delegasi dari Thaif yang baru masuk lslam memutuskan berdomisili sementara di kota Madinah. Nabi SAW bersama Bilal bin Rabah mengantarkan sajian berbuka dan sahur kepada mereka.

Tradisi ini lalu diteruskan oleh Umar, kemudian putranya, sahabat mulia Abdullah bin Umar yang rutin berbuka bersama anak yatim dan orang - orang  belum mampu.

Budaya kebaikan itu mengalir dari generasi ke generasi. Ibarat wasiat cinta Rasulullah.

Alhasil, selama Ramadhan, masyarakat Timur Tengah selalu berbagi hidangan berbuka ataupun sahur. Tradisi ini akrab disebut ma’idat ar-rahman atau hidangan Tuhan.