BERITABETA.COM, Saumlaki – Polemik seputar tuntutan hak bagi jatah dari pengelolaan PI 10% antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) versus Provinsi Maluku, belum kelar alias belum menemui titik terang.

Pihak Pemkab dan DPRD KKT serta masyarakat KKT ngotot memperoleh jatah dari blok migas raksaas itu. Dalil mereka, keberadaan dan pengelolaan migas Blok Masela akan dilakukan di wilayah KKT. Itu sebabnya, wajar hak PI mereka harus diberikan oleh Provinsi Maluku.

Ketua DPRD Maluku Lucky Wattimury kena kritikan pedas dari Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Jaflaun Batlayeri. Dia menilai Ketua DPRD Maluku Lucky Wattimury tidak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat KKT, terkait pembagian pengelolaan Participating Interest (PI) Blok Masela.

Padahal tuntutan rakyat KKT sudah disampaikan beberapa waktu lalu di DPRD Provinsi Maluku. Bahkan setelah menerima aspirasi rakyat KKT, Lucky Wattimury menyatakan DPRD Provinsi Maluku akan mengkaji dan mengambil langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ternyata, kata Jaflaun, DPRD Maluku bukan mengkaji secara komprehensif dengan dasar argumentasi yang kuat berbasis akademis, justru berkoordinasi dengan Kepala Dinas ESDM, Karo Hukum dan Dirut Maluku Energi Abadi.

"Pertanyannya, DPRD itu wakil rakyat atau wakil pemerintah? bagi kami, ini adalah tindakan salah kaprah dan tidak pada tempatnya,” kata Ketua DPRD KKT Jaflaun Batlayeri, kepada beritabeta.com, Sabtu (27/03/2021).

Jaflaun menuturkan, ungkapan ketua DPRD Maluku terkait permintaan DPRD KKT yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, karena tidak ada regulasi yang mengatur tentang hal itu.

"Bagi rakyat KKT, pernyataan ini telah menggiring opini publik seolah perjuangan dan aspirasi rakyat KKT adalah perjuangan dan aspirasi yang menabrak aturan perundang-undangan. Padahal sama sekali tidak," tegasnya.

Ia menjelaskan, perjuangan untuk mendapat pengakuan sebagai daerah penghasil dan terdampak berpijak dari Keputusan Presiden tentang skema pengembangan onshore yang akan berlokasi di daratan Pulau Yamdena, KKT.

Sehingga, menurut Jaflaun, paradigma industri migas bukan saja offshore, sebagaimana yang dkenal sejauh ini, tetapi juga paradigma onshore. Dan itu artinya, KKT akan menjadi daerah penghasil dan sekaligus terdampak.  Persoalannya belum ditetapkan saja oleh Menteri ESDM.

"Karena itu, kami menyampaikan aspirasi ini untuk menjadi bagian perjuangan bersama dengan DPRD Maluku agar dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM. Kok itu dianggap menabrak aturan perundang-undangan?" sentilnya.

Demikian halnya dengan perjuangan PI 10%, menurut Jaflaun, sebagaimana tertuang pada pasal 17 Permen ESDM adalah karena terdapat ruang tafsir yang berbeda. “

“Apakah BUMD Provinsi atau BUMD Kabupaten/Kota, atau bersama-sama. Karena itu, KKT mengajukan diri untuk ikut mengambil bagian,” tandasnya. (BB-LS)