KPK: Jual Beli Jabatan Salah Satu Modus Korupsi Kepala Daerah
BERITABETA.COM, Jakarta – Proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, serta promosi aparatur sipil negara (ASN) masih rentan dengan praktik korupsi. Penyelenggara negara di daerah sering terjerumus ke ruang korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendeteksi tempat atau episentrum terjadinya praktik busuk itu masih mudah terjadi di lingkup pemerintahan. Pelakonnya adalah para pengambil kebijakan dalam hal ini pemangku kepentingan yaitu kepela daerah.
KPK mengingatkan agar para kepala daerah di seluruh Indonesia termasuk Maluku untuk menghindari benturan kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan.
“Masalah jual beli jabatan salah satu modus korupsi yang sering dilakukan oleh kepala daerah,” tegas Ipi Maryati Kuding, Juru Bicara Komisi Pemberantan Korupsi atau KPK Bidang Pencegahan kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Hal tersebut bertalian dengan kasus penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya (kepala daerah) terkait seleksi jabatan di lingkup Pemerintah Kabupaten Probolinggo tahun 2021.
Dari kasus ini KPK menetapkan sebanyak 22 orang tersangka. Diantaranya, Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin selaku anggota DPR RI dari Partai Nasional Demokrat atau NasDem.
Ipi Marliyati menuturkan, berdasarkan hasil pemetaan dilakukan KPK seputar titik rawan korupsi di daerah lembaga anti rasuah mengidentifikasi potensi korupsi terjadi di beberapa sector.
Antara lain; melalui belanja daerah berupa pengadaan barang dan Jasa. Lalu korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak, retribusi daerah, hingga di sector pendapatan daerah dari pusat.
“Termasuk korupsi di sektor perizinan. Mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan,” ungkapnya.
Diketahui, Sabtu (04/09/2021) lalu, KPK telah menahan 17 orang tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan sesuatu oleh Penyelenggara Negara atau yang mewakilinya terkait seleksi jabatan di lingkungan pemerintah Kabupaten Probolinggo tahun 2021.
Mereka (17 orang tersebut) sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka bersama 5 orang lainnya sebagai tersangka pada 31 Agustus 2021 lalu. Terhadap kelima tersangka langsung dilakukan penahanan untuk kepentingan proses penyidikannya.
Biro Hubungan Masyarakat dalam hal ini Juru Bicara KPK Bidang Kelembagaan dan Penindakan menyatakan, pengembangan perkara ini bermula dari kegiatan tangkap tangan. KPK menetapkan 18 orang yang diduga sebagai pihak pemberi dan 4 orang sebagai pihak penerima.
Para pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan para pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada 17 tersangka untuk 20 hari pertama terhitung sejak 4 - 23 September 2021 yang ditempatkan di lima lokasi, yaitu sebelas orang tersangka ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur atas nama AW, MW, MU, MB, MH, AW, KO, AS, JL, UR, dan NH.
Tiga orang tersangka ditahan di Rutan Polres Jakarta Timur atas nama NUH, HS, dan SO. Serta masing-masing satu orang tersangka ditahan di Rutan Polres Jakarta Barat atas nama SR, di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih atas nama SD, dan di Rutan Polda Metro Jaya atas nama MI.
KPK menyesalkan terjadinya jual beli jabatan di tingkat desa yang dilakukan secara massal seperti ini.
Seseorang yang menyuap untuk mendapatkan suatu jabatan pasti tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas dan fokus bekerja melayani rakyatnya.
Namun memikirkan bagaimana mengembalikan modal suap yang telah dikeluarkan untuk memperoleh jabatan tersebut.
“Hal ini sangat mencederai keinginan masyarakat untuk memiliki kepala desa yang amanah dan mengedepankan prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih,” (*/BB-RED)