Berkaitan dengan data yang dijelaskan oleh direktur eksekutif perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi data itu memacu kepada keterlibatan penyandang Difabel dalam pemilu, tetapi yang terjadi, masih banyak penyandang difabel yang belum memenuhi hak pilih dan dipilihnya itu.

Secara spesifik jaminan tentang aksesibilitas dalam pemilu dapat dirujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), sebuah konvensi yang mengatur hak penyandang disabilitas.

Di pasal 29 CRPD  yang mengatur tentang partisipasi dalam kehidupan politik dan publik dijelaskan bahwa "Negara-negara harus menjamin hak politik penyandang disabilitas dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

(a) menjamin penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih.”

Di Maluku khusunya, berdasarkan pantauan di sana ada kasus dimana seorang penyandang difabel yang berusia 60 tahun baru 1 kali melakukan pemilu. Kasus lainya terkait dengan penyediaan sarana untuk panyandang difabel  mencoblos bahkan tak sampai ke TPS sama sekali.

Lagi-lagi difabel harus didampingi bahkan dengan pendampingan tanpa kerahasiaan (Form C3 tidak diberikan apalagi ditandatangani).  Data pemantauan menunjukkan bahwa untuk alat coblos yang disediakan oleh KPU RI sekalipun, yakni di tingkat DPD, ketersediaannya di TPS, khususnya di TPS di mana pemantauan berlangsung hanyalah beberapa persen.

Itu berarti pemilih difabel nyaris setengahnya tetap tak bisa menikmati dengan kemampuan sendiri melakukan pencoblosan sebagaimana layaknya pemilih lain. KPU Pusat juga tidak menyediakan alat bantu mencoblos selain bagi kertas suara dengan alasan rumit secara teknis.

Temuan lainnya, ada beberapa TPS yang kurang ramah kepada kelompok difabel. Contoh lainnya, misalnya pemilih datang awal, ngantre. Karena yang bersangkutan tuna rungu, saat dipanggil tidak dengar. Akhirnya, dia balik (pulang) lagi.

Ini yang tidak diperhatikan oleh KPPS.  Kasus lainya yaitu masih banyak penyandang difabel yang belum terdata dengan alasan tidak memiliki KTP selayaknya orang biasa.

Masalah lainnya adalah aksesibilitas materi informasi pemilih dan konten media bagi penyandang difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Penggunaan bahasa isyarat pun masih jarang.

Sama halnya dengan pamphlet pendidikan, brosur, dan papan reklame yang hampir tidak pernah dicetak dalam huruf braille atau tersedia dalam format audio atau bahasa sederhana yang bisa dengan mudah dipahami difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Kasus ini secara tidak langsung dia melanggar dari undang-undang Demokrasi.

Hak difabel untuk berpartisipasi secara aktif dalam pesta demokrasi Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas Pasal 13 menyebutkan memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota dan pemilihan kepala desa atau nama lain.

Sayangnya,  hal ini banyak tidak dipahami. Informasi ini biasanya tidak sampai pada penyandang disabilitas. Kaum difabel banyak yang tidak tahu bagaimana menyuarakan kesulitan mereka, sehingga akhirnya pasrah dan menerima nasib.

Perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas terdapat pada Pasal 350 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau.