BERITABETA.COM, Ambon – Aksi demo damai  digelar belasan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian.

Aksi yang berlangsung Sabtu (6/7/2019)  sejak pukul 09.00 WIT hingga 10.25 WIT,  itu digelar di depan Asrama Putra Papua Kampus Unpatti, Ambon,  Jln. Dr J. Leimena, Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon.

Puluhan massa itu dikoordinir oleh Set Kortumun. Mereka menggelar aksi  dalam rangka memperingati 21 Tahun Pelanggaran HAM yang dikenal dengan Biak Berdarah.  Pendemo  juga membagikan pernyataan sikap kepada masyarakat yang melewati ruas jalan tersebut. 

Petugas kepolisian kemudian berusaha membubarkan paksa mahasiswa. Polisi  menyatakan, para pendemo tidak mengantongi ijin dari pihak kepolisian. Sebaliknya, mahasiswa bersikukuh telah menyampaikan pemberitahuan aksi yang digelar itu.

Meskipun tanpa ijin, mereka tetap melaksanakan aksi, dengan alasan hak berpendapat diatur dalam Undang -Undang. Adu mulut sempat terjadi antara mahasiswa dengan aparat kepolisian berseragam lengkap.

Seorang mahasiswa Papua saat membacakan tuntutan yang tercantum dalam secarik kertas saat menggelar demo, Sabtu (6/7/2019)

Salah satu anggota polisi bahkan terlihat mendorong paksa mahasiswa agar membubarkan diri.  Para mahasiswa kemudian ditarik paksa dan dinaikkan ke mobil patroli, dan dibawa ke Polres Pulau Ambon untuk dimintai keterangan.

Sementara itu, dalam orasinya, mahasiswa menyatakan, sejak 1 Desember  tahun 1961,  bangsa West Papua telah mendelarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka.  Namun hanya berselang 18 hari tepatnya 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan operasi  Tri Komando Rakyat (Trikora) di alun-alun Yogjakarta,  dengan dalil ingin membebaskan  rakyat  dan bangsa West Papua dari kolonialisme Belanda.  Tapi bagi bangsa dan rakyat West Papua,  hanyalah perpindahan tangan dari penjajah yang lama  kepada penjajah baru,  yaitu indonesia.

Pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto lanjut mereka, sama sekali tak mengubah nasib rakyat Papua.  Rezim otoriter Soeharto yang memimpin selama 32 tahun tak mengurangi niat rakyat Papua untuk menuntut hak politik, pelanggaran hak asasi manusia  (HAM) yang terus terjadi.   Bahkan setelah kemunduran   Soeharto akibat protes gerakan mahasiswa di indonesia,  rakyat Papua tidak menikmati demokrasi.

Tepatnya 2 bulan setelah kemunduran Soeharto,  pada  6 Juli 1998,  rakyat Papua di kota Biak berkumpul dan mengibarkan bendera bintang kejora,  simbol dari perjuangan rakyat dan bangsa West Papua.  Aparat  kemudian melepaskan tembakan dengan  membabi buta ke arah masyarakat yang sedang berkumpul untuk mengekspresikan sikap politiknya.  Atas kejadian tersebut,  8 orang tewas,  4 orang luka berat yang sempat dievakuasi ke Makassar Sulawesi Selatan, dan  50  Orang ditangkap,  disiksa dan kemudian dipenjara. Sedangkan  8  dinyatakan orang hilang dan 32 mayat dibuang di perairan perbatasan PNG.

Setelah 21 tahun berlalu tanpa proses penyelesaian pelanggaran HAM berupa pembantaian Indonesia dinilai telah melindungi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di biak, dan justru memperpanjang eksploitasi terhadap sumber daya alam Papua.

Melihat catatan sejarah dan rentetan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, aliansi mahasiswa Papua dan From Rakyat Indonesia untuk West  Papua menuntut dan menyatakan sikap, agar  Pemerintah Indonesia memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi Bangsa West Papua, dan bertanggung jawab atas tragedi biak berdarah  serta  kasus pelanggaran HAM di tanah Papua.

Mereka juga menuntut agar  TNI/ Polri organik dan anorganik  ditarik dari seluruh tanah Papua, dan memberikan  ruang kebebasan  bagi jurnalis dan pers, disamping memberikan ruang demokrasi bagi rakyat Papua seluas-luasnya. (BB-DIAN)