Pakai Konsep LNG untuk Blok Masela, Bukti Keputusan Tepat Presiden Jokowi

Suatu proyek atau bisnis yang ditinggalkan Shell tentu kemudian menimbulkan pertanyaan apakah bisnis atau proyek tersebut masih dapat terus berjalan tanpa kehadiran dan dukungan Shell.
Untuk itu marilah kita lihat faktor yang menentukan sukses tidaknya suatu pengembangan proyek LNG dan bagaimana Shell berperan dalam masing-masing faktor tersebut. Apakah proyek kilang LNG darat Masela akan tetap berjalan lancar atau menjadi terkendala dengan mundurnya Shell.
Dari sisi rancang bangun teknis, ketergantungan proyek LNG darat pada Shell tidak begitu besar. Banyak perusahaan lain, misalnya Pertamina sudah membuktikan berhasil dengan baik dalam melakukan rancang bangun dan mengelola pembangunan kilang LNG darat di Arun, Bontang, Tangguh 1/2 dan Donggi- Senoro.
Hampir seluruhnya dilakukan dengan tenaga ahli dan pekerja Indonesia. Dengan atau tanpa Shell, rancang bangun dan konstruksi kilang LNG darat sudah mendekati tingkat kematangan dengan sedikit saja perubahan teknologi.
Dari sisi usaha mendapatkan pasar/pembeli LNG, justru peran Inpex yang akan sangat berarti dan penting. Inpex, yang mirip seperti Pertamina nya negara Jepang tentu tidak terlalu sulit untuk mendapatkan pasar Jepang.
Perlu dicatat bahwa semua proyek LNG saat ini sampai 5 tahun ke depan menhadapi masa-masa sulit, banjir pasokan LNG murah dari Amerika Serikat dan Kanada, dibukanya kembali moratorium perluasan kilang LNG Qatar yang juga dapat menghasilkan LNG dengan harga yang sangat bersaing, pasokan baru dari negara-negara Afrika Timur serta tentunya ancaman adanya resesi ekonomi dunia karena wabah Covid-19.
Dari sisi kemampuan meng-operasikan kilang LNG darat, peran Shell juga tidak akan terlalu besar. Pihak Indonesia sudah terbukti di kilang-kilang LNG Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi-Senoro mampu mencapai operational excellence kelas dunia, handal, aman dan selalu dapat memenuhi kontrak penjualan LNG.
Peran Shell paling besar dalam proyek kilang LNG darat adalah dari sisi pendanaan proyek. Walaupun suatu proyek LNG bisa didanai 70 persen dari pinjaman, namun pemilik proyek masih wajib setor 30 persen dana tunai untuk proyek.
Untuk proyek LNG darat Masela, ini artinya sekitar 7 Miliar dolar Amerika untuk masa proyek empat tahunan. Besar sekali. Untuk perusahaan yang punya saham 35 persen seperti Shell, dana tunai yang harus disediakan sekitar 600 juta dolar tiap tahun selama empat tahun. Hanya untuk satu proyek saja!
Untuk sekelas Shell, Inpex dan perusahaan migas global lainnya tentu tidak menjadi masalah. Pengganti Shell tentu harus mampu menyediakan dana tunai proyek sebesar ini.
Kepergian perusahaan sekelas Shell dari proyek LNG darat Masela pasti ada konsekuensinya, paling tidak dari segi pendanaan proyek dan akses ke penyandang dana.
Tapi itu bukan akhir segalanya, bukan berarti kiamat untuk LNG darat Masela. Tanpa Shell kita perlu lebih waspada, lebih hati-hati (prudent) dan lebih kerja keras. Kan, kita sudah pengalaman membangun empat kilang LNG darat di Indonesia, semua sukses, lancar, tepat waktu, beberapa malah lebih cepat, dan tepat biaya, tidak ada yang membengkak biayanya.
Dengan segudang pengalaman membangun kilang LNG darat itu, masak baru ditinggal Shell saja membuat kita jadi keringat dingin?
Untuk itu, kebijakan Presiden Joko Widodo memindahkan kilang Blok Masela dari luar ke darat merupakan kebijakan yang tepat, jika berkaca dari pengalaman kilang terapung di Prelude Australia yang masih diliputi berbagai persoalan (*)
Penulis adalah, Praktisi Profesional Industri Migas. Pernah menjabat Presiden Direktur Kilang LNG Badak, Pimpinan Proyek LNG Tangguh, dan VP Pengembangan Bisnis Proyek LNG Donggi-Senoro.