Kedua, partai gagal menjadi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Partai-partai hanya mementingkan target-target politik jangka pendek, bukan strategi jangka panjang.

Seharusnya, semua partai baik itu oposisi maupun diluar oposisi idealnya harus menjadi pengontrol jalannya pemerintahan. Sehingga, ketika pemerintah berjalan tidak sesuai nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka partai harus menegurnya bukan membiarkannya. Ini yang diharapkan masyarakat Indonesia sekarang ini. 

Ketiga, kaderisasi anggota partai yang lemah. Proses kaderisasi harus berupaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti korupsi, mengupayakan kesejahteraan umum, dan penegakkan keadilan sosial, sesuai tujuan berdirinya partai.

Saat ini, lembaga-lembaga politik justru menjadi episentrum dari praktik-praktik korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik partai. Hal ini yang membuat masyarakat kecewa.

Olehnya itu, proses kaderisasi harus berjalan maksimal yakni menghadirkan aktor-aktor politik profesional dan punya idealisme kuat. Jika proses kaderisasi ini lemah, maka korupsi dan hal-hal negatif lainnya akan muncul di ruang-ruang demokrasi sehingga rakyat semakin kecewa terhadap partai. 

Keempat, pendidikan politik masyarakat yang lemah. Ini juga membuat masyarakat kecewa. Pendidikan politik harus dilakukan tanpa janji-janji palsu dan 'money politic'.

Politik uang merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan sekarang ini. Politik uang telah menjadi benalu bagi suksesnya demokrasi perwakilan berjalan substantif, dan itu merupakan buah negatif dari reformasi.

Selain itu, janji-janji politik yang jarang direalisasikan menjadi kebohongan semakin mengeraskan kekecewaan publik terhadap partai politik.

Olehnya itu, pendidikan politik yang ideal adalah memberikan masyarakat harapan dan realisasi janji pembangunan tanpa uang politik. Upaya ini yang dapat membuat masyarakat tidak kecewa terhadap partai politik. 

Kelima, penempatan wakil "berkualitas" di lembaga-lembaga politik seperti DPR tanpa mempertimbangkan animo serta harapan masyarakat. Wakil "berkualitas" yang dipilih partai seolah-olah 'taken for granted' dan sekedar memenuhi aspek prosedural namun kering substansial.