Bahkan, lanjutnya, usulan pemerintah pun pada Mei 2024. Tentang pelaksanaan pemungutan suara Pemilu juga menjadi polemic.

Karena, kata Mochtar, hal itu akan berimbas pada pelaksanaan Pilkada serentak pada 27 November 2024, yang sudah tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Artinya, kata Mochtar, kalaupun pemerintah mengusulkan ada perubahan jadwal, hari, tanggal dan waktu pemungutan suara merupakan kewenangan KPU. Kalau menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Itu artinya, kata dia, permintaan KPU agar pilkada 2024 diundur pada 2025, tawaran tersebut tidak menyalahi UU tentang pemilu.

Meskipun demikian, kata Moochtar, kalau misalnya pemilu dilaksanakan pada Mei seperti yang diinginkan oleh pemerintah, maka ada rentang waktu sekitar satu bulan untuk menunggu keputusan MK terkait dengan gugatan hasil pemilu.

“Itu berarti pada Juni dilakukan dan Pilkada berlangsung pada November, masa KPU dipaksa bekerja seperti itu,”ketusnya. 

Dia merujuk pemilu 2019 lalu, dimana pelaksanaan pilkada yang berbeda dengan pemilu, banyak anggota KPU yang meninggal dunia karena kelelahan.

“Rumitnya luar biasa. Menurut saya, wajar kalau KPU meminta untuk mengundurkan jadwal Pilkada pada 2025,”timpalnya.

Meski begitu, Mochtar berharap, Pilkada 2022 harus tetap ada. Dalihnya, jika pilkada serentak final ditunda atau diundur hingga 2025, maka dapat dipastikan KPU juga akan sangat rumit dalam penyelenggaran [Pilkada serentak 2025].

Ia mencontohkan, ada bupati yang terpilih pada 2019, 2018, dan 2017, jika mau maju lagi harus menunggu waktu yang lama untuk kembali ikut dan bertarung lagi?

“Masa ada pejabat bupati yang masa kekuasaannya lama sekali? Seharusnya ada pilkada serentak pada 2022. Pilkada dan Pemilu sangat mustahil dilaksanakan secara serentak,”kata Mochtar. (BB-RED)