BERITABETA.COM, Jakarta — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana merevisi Undang-Undang (UU) nomor 32 Tahun 2022 tentang penyiaran.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan melalui siaran persnya yang diterima beritabeta.com di Jakarta, Sabtu (11/5/2024).

Herik membeberkan, rencana merevisi UU ini sudah memasuki tahap penyelesaian draf yang merupakan inisiasi dari DPR dan telah dibahas di Badan Legeslasi (Baleg) pada 27 Maret 2024.

"Pemerintah bersama DPR berencana merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Recana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024," ungkap Herik Kurniawan.

Dia mengaku, IJTI menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran, baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi.

Dari proses penyusunan tambah dia, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers.

"Dalam darf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI," akuinya.

Kurniawan menyebut, pada pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Dikatakan, IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, sehingga muncul pertanyaan besarnya, mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi?.

"Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televisi," katanya.

Ia berujar, secara subtansi, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. 

"Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggungjawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," ujarnya.

Dirinya menambahkan, dalam pasal B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Herik berpendapat, pasal ini sangat multi tafsir, terlebih yeng menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

"IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan, berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers," tambahnya. (*)

Editor : Redaksi