Julkisno Kaisupy, Anak Petani dan 'Mama Biam' Kini Perwira Polri
BERITABETA.COM, Ambon - Setiap orang punya lika liku cerita atau kisah dalam hidup. Nasib manusia tentu berbeda-beda. Baik dan buruk adalah suatu keniscayaan dalam proses kehidupan itu sendiri. Kondisi itu juga berlaku atau dialami Iptu Julkisno Kaisupy.
Lahir dari keluarga sederhana tak membuat Perwira Polri aktif di jajaran Polda Maluku ini berkecil hati dan minder. Sekolah di kampung hingga merantau ke kota Ambon untuk merubah nasib di tempuh Julkisno dengan ragam kisah.
Sejak kecil, Julkisno hidup di Negeri/Desa Iha Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Dia anak bungsu dari delapan orang bersaudara. Laki-laki 4 dan perempuan 4. Satu kakak perempuan jadi Guru dan satunya PNS di daerah. Sedangkan dua kakak laki-lakinya adalah petani.
Ayah Julkisno seorang petani. Ibunya selain sebagai ibu rumah tangga juga berprofesi sebagai Mama Biam (Bidan Desa), yang membantu dan melayani ibu-ibu hamil untuk bersalin.
Julkisno harus hidup piatu. Sebab ibunya meninggal dunia saat dia masih duduk di bangku Kelas I Sekolah Dasar. Kehidupan Julkisno berpindah-pindah. Ia dipelihara oleh bibi dan paman dari bapaknya. Kadang juga kakak-kakanya menjaga dan merawatnya. Hidup berpindah-pindah tempat tinggal dialaminya dari kecil, remaja hingga dewasa.
Singkat cerita lulus SMP tahun 1994, Julkisno melanjutkan studi di Kota Ambon. Ia masuk di SMA Negeri 7 Ambon. Selama enam bulan tinggal bersama kakak Perempuan di Asrama TNI Kompi A 733 Masariku Waiheru, Kota Ambon.
Karena kakak iparnya (suami dari kakak perempuannya) pindah tugas ke Ternate, Maluku Utara, Julkisno lalu mencari tempat tinggal baru yakni kamar kos. Tepatnya di depan kampus Politeknik Unpatti Ambon (Kompleks Kelapa Tiga). Lulus SMP hingga masuk Kelas I SMA Negeri 7 dia tinggal di kosan ini.
Untuk menyelesaikan studi Julkisno berharap kiriman dari kakaknya. Namun untuk makan setiap hari kerap dia harus memecahkan otak sendiri, karena kiriman sering terlambat.
“Tetangga kosan saya itu pasangan suami istri yakni pak Basman dan ibu Lin. Kebetulan mereka punya kios juga jual minyak tanah, ada juga mobil truk. Soal uang kos tidak masalah. Karena kakak saya biasanya kirim per bulan. Masalahnya hanya makan tiap hari, saya kewalahan,” ucap Julkisno mengisahkan masa-masa menempuh sekolah di Kota Ambon, dalam satu kesempatan berdiskusi lepas dengan beritabeta.com di ruang kerjanya, Markas Polsek Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Setiap hari libur, tetangga kosnya yang punya mobil truk itu biasanya muat pasir dan batu. Karena tidak hidup bergantung kepada keluarga semata dia tak sungkan untuk menjadi buruh ikut menjadi helper.
“Saya ikut jadi kondektur mobil truk tetangga. Biasanya saya diberi uang Rp.20.000. uang ini saya mantfaatkan untuk makan, begitu seterusnya,” ungkapnya.
Julkisno bercerita, dia juga sering mengantar anak kecil tetangga kosnya itu ke sekolah taman kanak-kanak. Sebaliknya menjemput anak sang majikan itu pulang ke rumah, dengan menggunakan sepeda. “Biasanya saya juga di suruh belanja di pasar Rumah Tiga,” imbuhnya.
Nasib malang sempat dialami Julkisno. Saat menyedot (hisap) minyak tanah dari drum dengan menggunakan selang ke ember dan jirigen, minyak tanah yang disedotnya itu spontaa masuk atau diminum.
“Seketika napas saya setop. Suara tidak bisa keluar, tidak bisa bicara. Orang-orang panik melihat saya saat itu. Saya di kasi minum susu kental, tapi belum bisa bersuara, napas masih sesak,” ujar Julkisno menambahkan.
“Beruntung saat itu ada kelapa yang telah diparut dan dicampur dengan gula merah (aren), lalu saya minum. Alhamdulillah napas bisa kembali normal. Saya langsung tobat tidak mau lagi hisap-hiap minyak tanah,” jelas Julkisno mengenang kisah kelam itu.
Seiring waktu berjalan Julkisno pindah kosan ke kawasan Wailela, Rumah Tiga tepatnya Lorong Service. Tetangga kosnya seorang pekerja Mercusuar. Kebetulan rumahnya tidak punya pembantu, lalu Julkisno ambil peluang untuk angkat air untuk penuhi bak air tetangganya itu.
Dia tidak minta imbalan uang. Pekerjaan ini dilakoninya semata-mata untuk mendapat makan setiap hari dari tetangganya tersebut.
“Sering tugas saya atau kerja tiap hari setelah pindah kos, saya angkat air untuk tetangga kos. Kadang sore pulang sekolah kalau air di bak habis, saya pergi angkat dengan ember untuk isi di bak. Begitu seterusnya,” tambah dia.
“Kadang juga pergi ke pasar untuk belanja keperluan rumah tangga tetangga kos saya. Semua ini saya lakukan untuk makan tiap hari,” ungkapnya.
Pernah hampir satu minggu tinggal di kos bar itu, dirinya tidak makan karena tidak punya uang. Kiriman dari orang tua maupun kakaknya juga terlambat, akibatnya Julkisno pingsan di sekolah.
“Zaman (1995-1996) itu kan belum ada telepon seluler seperti sekarang. Tentu mau hubungi keluarga susah. Kadang, saya kecnyang hanya minum air. Hampir satu minggu saya tidak makan dan sempat pingsan di sekolah,” beber Julkisno mengenang kisah pilunya saat itu.
Setelah naik kelas III di SMA Negeri 7 Ambon, Julkisno kembali pindah kos-kosan. Tepaynya di kawasan SMP Negeri 15 Ambon. Disini dia bertemu beberapa rekannya dari Pulau Seram. Hidup sebagai anak kos dan jauh punya resiko dan ujian selalu mereka alami.
Dia dan rekan-rekannya selalu melirik peluang untuk kebutuhan makan setiap hari. Julksino mengaku ia bersama rekan-rekannya pernah ikut para nelayan yang pergi mencari ikan dengan perahu. ini mereka lakukan demi mendapat sesuap nasi.
“Di kawasan Wailete tempat kos kami itu, ada tempat Mebel milik orang Bugis. Nah saya dan teman-teman juga kerja disitu bantu beliau (pemilik mebel). Tujuan kami kerja di mebel itu agar kami bisa makan saja,” tutur Julkisno.
Selain itu jika tidak punya uang kebutuhan tiap hari, dia dan rekan-rekannya rebus dan goreng pisang demi mengganjal perut.
Suatu ketika, kenang Julkisno, dalam bulan puasa karena tidak punya uang untuk membeli takjil, ia dan teman-temannya terpaksa berbuka puasa (iftar) dengan Sangkola (makanan khas orang Buton, Sulawesi Tenggara, bahannya dari ubi singkong/kasbi.
Kondisi itu dialami hingga tersisa satu bulan dia lulus SMA. Julksino lalu pindah dan tinggal bersama kakak sepupunya yang berdinas di Kompi B Batalyon 733 Masariku Waiheru.
Uniiknya masih jadi peserta ujian nasional SMA, Julkisno sudah mendaftar untuk menjadi anggota Polri. Pengumuman Calon Bintara atau Caba Polri disampaikan pihak Polda Maluku di sekolahnya (SMA Negri 7 Ambon), meungubah nasibnya.
Meski belum kantongi ijazah SMA, karena belum ujian nasional, Julkisno mendaftar pakai surat keterangan dari Kepala SMA Negeri 7 Ambon.
“Angkatan SMA dan sederajat saat itu pertama kali diberlakukan ujian nasional dengan system oles computer. Alhamdulillah saya lulus. Tapi ijazah belum terima,” tambah dia.
“Kebetulan saat itu pihak Polda Maluku datang ke sekolah kami sampaikan pengumuman tentang seleksi Caba Polri. Bagi peserta yang sudah lulus SMA meski belum terima ijazah diberi keringanan untuk mendaftar pakai surat keterangan dari Kepala Sekolah,” bebernya.
Disini, Julkisno langsung mendaftar dan ikut seleksi. Nasib mujur menghampirinya. Pria yang kini menjabat Kapolsek Leihitu Maluku Tengah itu lolos jadi Bintara Polri. Pendidikan siswa Bintara ditempuhnya hingga selesai di SPN Passo Kota Ambon.
“Saat itu beta tidak minat (jadi polisi). Beta mau masuk Tentara. Karena setiap kali orang dari kampung saya ikut tes Polisi tidak lolos. Tapi kalau tes Tentara banyak yang lolos,” ujarnya.
Lalu, kakanya mendorong dan menyarankannya agar ikut tes Polisi. Julkisno pun menerima saran kakaknya dan mendaftar untuk ikut seleksi jadi anggota Polri.
“Sempat saya tolak, tapi kakak saya bilang kalau di kampung kami tentara sudah banyak, sedangkan anggota polisi belum ada bahkan jarang. Dulu ada seorang polisi di kampung saya, tapi beliau sudah pensin. Setelah saya pikir-pikir, saran dan dorongan kakak saya itu saya terima terus saya daftar dan ikut tes polisi,” jelasnya.
Jika tidak lolos, Julkisno telah menyiapkan planning B yaitu mendaftar untuk menjadi anggota TNI. Tapi keberuntungan cepat menghampirinya. Sekali daftar dan tes Caba Polri, Julkisno langsung lolos.
“Saat daftar untuk ikut seleksi jadi anggota Polri, orang-orang di kampung juga tidak tahu. Setiap pergi tes saya pakai seragam SMA, jadi orang tahu saya ke sekolah. Saat tes fisiko dua minggu kemudian baru kami ujian nasional,” jelasnya.
Sebelum ujian nasional, lanjut dia, sudah selesai tes pantukhir tapi hasilnya belum diumumkan. Sedangkan hasil ujian nasional sudah dimumkan dan dirinya lulus SMA. “Satu minggu kemudian baru hasil tes pantukhir diumumkan dan alhamdulillah saya pun lulus,” ungkapnya.
Selanjutnya tahun 1997 Julkisno menempuh pendidikan siswa Bintara Polri di SPN Passo hingga dilantik pada 1998 sebagai anggota Polri dengan pangkat Brigadir Dua (Bripda).
Penempatan tugas perdana di Denma Polda Maluku, Jalan Rijali No.1, Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku.
Tito (sapaan akrab Julkisno Kaisupy) ini memilih tempat kos di kawasan Skiip, berdekatan dengan Markas Polda Maluku. Dalam meniti karir sebagai anggota Polri, Julkisno selalu menonjolkan sikap kesederhanaannya.
Meski sudah sah jadi anggota Polri (1998), ketika libur dia tak malu meluangkan waktu untuk mencari pundi-pundi uang secara halal demi menambah kebutuhan sehari-hari termasuk membantu ayahnya dan keluarga di kampung.
Julkisno tak susah lagi untuk makan setiap hari. Sebab ketika gajian, dia selalu menyiapkan stok bahan pokok di kamar kos berupa Sarimi 1 karton dan beras 10-15 kg.
Saat libur tugas, dia ke terminal angkutan umum di Kawasan Mardika Ambon untuk menjadi kondektur.
“Waktu itu lima hari kerja, Senin sampai Jumat. Nah biasanya Jumat sore atau setelah pulang tugas, saya ke kos untuk mandi dan cuci pakaian, seterusnya saya ke Terminal Mardika untuk jadi kondektur angkutan umum dalam kota,” terangnya.
Kalau sudah keluar saat liburan, Julkisno justru tidak hidup santai. Dia tetap bekrja keras untuk mendapatkan uang dan merajut pertemanan dengan warga sipil.
“Sejak Jumat sotre pulang tugas, saya ke terminal jadi kondektur angkot. Saya pulang biasanya Minggu malam atau Senin pagi, dan langsung masuk kantor,” imbuhnya.
Niat menjadi kondektur bukan semata-mata untuk mendapat tambahan uang, tetapi dia ingin mengetahui sweperti apa kehidupan yang dirasakan orang-orang yang berjualan di pasar maupun terminal.
“Rata-rata supir saya itu orang-orang dari Negeri Wakal dan Hitu Kecamatan Leihitu. Disamping jadi kondektur tujuan saya bergaul dengan orang-orang di pasar dan terminal selama hampir dua tahun, untuk mendapat teman juga merasakan apa yang mereka rasakan. Saya tahu menyetir mobil karena jadi kondektur,” imbuhnya.
Ketika konflik horizontal melanda Maluku, pusatnya di kota Ambon (1999), Julkisno memilih pindah kos-kosan. Dia mukim di kawasan Galunggung Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau.
Ia lalu pindah tugas di Polres Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, Perigi Lima Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Saat menikah pada 2000 silam, Julkisno masih hidup di kosan. Kebetulan tempat kosnya bertetangga dengan Syarief Hadler (sekarang Wakil Walikota Ambon).
Karena mendengar ada anak kompleks yang mau nikah, sebagai tetangga Syarief Hadler lalu memberi jas dan meminjamkan mobil kepada Julkisno untuk prosesi akad nikah. Padahal sebelumnya Julkisno tak kenal Syarief yang saat itu masih menjadi anggota DPRD.
“Saat itu ada yang sampaikan ke beliau (Syarief), lalu pak Syarief beri Jas dan pinjamkan mobil beliau untuk saya pakai di hari pernikahan. Maklum, situasi saat itu masih konflik, mau beli pakaian baru kan susah, sebab toko pakaian tidak ada yang buka,” timpal Julkisno.
Setelah menikah pun Julkisno masih hidup kurang lebih enam bulan di kos-kosan. Singkat cerita, usai menikah dan situasi kota Ambon serta Maluku umumnya berangsur aman, Julkisno mengadu nasib lagi yakni ikut tes untuk menjadi perwira.
Cita-cita mengejar pangkat balok di Pundak sempat kandas. Pada 2013 lalu, dia sempat daftar ikut seleksi calon perwira Polri. Sayangnya Julkisno tidak lolos. Meski begitu, semangatnya tak pupus.
Selaku abdi negara Julkisno tetap menjalankan tugas sebagai anggota Polri continue. Seiring waktu berjalan atau tepatnya pada 2015, Julkisno kembali mengadu nasib. Dia kembali mendaftar untuk tes Perwira, setelah dua tahun beruntun tidak ikut tes.
“Pada 2015 saya kembali ikut tes. Alhamdulillah lulus dan ikut sekolah pendidikan perwira di Sukabumi,” ungkapnya.
Setelah selesai pendiidikan pangkat Inspektur Satu (Iptu) melekat di pundak, Julkisno lalu di tempat tugaskan di Mapolresta Pulau Ambon. Kapolda Maluku saat itu Murad Ismail.
Ia juga sempat ditugaskan selama 11 tahun di Pemerintah Kota Ambon. Selama 5 tahun pertama menjadi pengawal pribadi sekaligus ajudan Wakil Walikota Ambon, Syarif Hadler periode 2001 – 2006.
Kemudian sempat balik ke Polres Ambon namun diminta oleh Walikota Yopi Papilaya saat itu, untuk bantu menjadi pembina sekaigus mendampingi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Ambon untuk menegakkan Perda Kota Ambon dan kebijakan Walikota Ambon selama 6 tahun (2007- 2013).
Selanjutnya pada 2016 atau era Kapolda Maluku Ilham Salahudin mempercayakan Julkisno menjabat sebagai Kapolsek Elpaputih, wilayah perbatasan antara Kabupaten Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah. Setelah itu dia ditarik masuk ke Polsek Teluk Ambon, dengan jabatan yang sama (Kapolsek).
Pria yang dikenal cair dalam berkomunikasi ini tak lama bertugas di Polsek Teluk Ambon. Ia lalu ditarik masuk lagi ke Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, sebelum beralih status menjadi Polrests Pulau Ambon. Jabatan yang diembannya adalah Kabag Humas Polres Pulau Ambon.
Seterusnya, mantan Kapolda Maluku Irjen Pol Baharudin Djafar, memutasikan Julkisno dari Kabag Humas Polres Ambon menjabat sebagai Kapolsek Leihitu, 2020-2021.
Ŕiwat Karier Polisi;
- Masuk Bintara Polri tahun 1997, dilantik jadi Bintara Polri tahun 1998
- Mulai Dinas di Polda Maluku tahun 1998 - 2000
- Tahun 2000 Pindah ke Polres Ambon
- Mulai jadi Perwira tahun 2015
- Jabat KBO Intelkam Polres Ambon akhir 2015 - 2016
- Akhir 2016 - awal 2028 jabat Kapolsek Teluk Elpaputih Polres Maluku Tengah
- Awàl 2018 sampai awal 2019 jabat Kapolsek Teluk Ambon
- Awal 2019 - Mei 2020 jabat Kasubbàg Humas Polresta Ambon
- Mulai Mei sampai sekarang jabat Kapolsek Leihitu
(BB-SSL)