“Beruntung saat itu ada kelapa yang telah diparut dan dicampur dengan gula merah (aren), lalu saya minum. Alhamdulillah napas bisa kembali normal. Saya langsung tobat tidak mau lagi hisap-hiap minyak tanah,” jelas Julkisno mengenang kisah kelam itu.

Seiring waktu berjalan Julkisno pindah kosan ke kawasan Wailela, Rumah Tiga tepatnya Lorong Service. Tetangga kosnya seorang pekerja Mercusuar. Kebetulan rumahnya tidak punya pembantu, lalu Julkisno ambil peluang untuk angkat air untuk penuhi bak air tetangganya itu.

Dia tidak minta imbalan uang. Pekerjaan ini dilakoninya semata-mata untuk mendapat makan setiap hari dari tetangganya tersebut.

“Sering tugas saya atau kerja tiap hari setelah pindah kos, saya angkat air untuk tetangga kos. Kadang sore pulang sekolah kalau air di bak habis, saya pergi angkat dengan ember untuk isi di bak. Begitu seterusnya,” tambah dia.

“Kadang juga pergi ke pasar untuk belanja keperluan rumah tangga tetangga kos saya. Semua ini saya lakukan untuk makan tiap hari,” ungkapnya.

Pernah hampir satu minggu tinggal di kos bar itu, dirinya tidak makan karena tidak punya uang. Kiriman dari orang tua maupun kakaknya juga terlambat, akibatnya Julkisno pingsan di sekolah.  

“Zaman (1995-1996) itu kan belum ada telepon seluler seperti sekarang. Tentu mau hubungi keluarga susah. Kadang, saya kecnyang hanya minum air. Hampir satu minggu saya tidak makan dan sempat pingsan di sekolah,” beber Julkisno mengenang kisah pilunya saat itu.

Setelah naik kelas III di SMA Negeri 7 Ambon, Julkisno kembali pindah kos-kosan. Tepaynya di kawasan SMP Negeri 15 Ambon. Disini dia bertemu beberapa rekannya dari Pulau Seram. Hidup sebagai anak kos dan jauh punya resiko dan ujian selalu mereka alami.

Dia dan rekan-rekannya selalu melirik peluang untuk kebutuhan makan setiap hari. Julksino mengaku ia bersama rekan-rekannya pernah ikut para nelayan yang pergi mencari ikan dengan perahu. ini mereka lakukan demi mendapat sesuap nasi.