Dengan demikian, kata dia, pemberitaan akan adanya pencemaran sumber air di lokasi kegiatan adalah tidak benar.  Fasilitas yang dibangun adalah Insinerator, bukan TPA sampah.

“Sistem pengelolaan Insinerator berbeda dengan TPA, sehingga penyebutan sistem pengelolaan limbah B3 menggunakan Insinerator sebagai TPA limbah B3 adalah keliru dan tidak berdasar secara ilmiah," ungkapnya.

Roy Siauta menjelaskan, pembanguan fasilitas pengelolaan limbah menggunakan Insinerator diperuntukan bagi penanganan limbah B3 medis dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Provinsi Maluku.

Hal ini merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya penanggulangan keadaan kedaruratan di masa pendemi Covid-19, yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam dalam Kepres nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.

Dikatakan, mengingat tingginya tingkat penyebaran virus corona yang berimbas pada meningkatnya jumlah limbah B3 medis, termasuk limbah covid-19 yang harus dikelola, sehingga tidak memperpanjang mata rantai penyebarannya, maka Pemerintah Pusat memprioritaskan provinsi Maluku untuk dibangun fasilitas tersebut.

Pembangunan tersebut juga didasari pertimbangan bahwa Provinsi Maluku tidak memiliki Insinerator dengan fasilitas memadai untuk pengelolaan limbah B3.

Selain itu, kondisi wilayah Maluku yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap pencemaran, serta jauh dari pusat pengelolaan sampah yang berada di Pulau Jawa, menjadi alasan dibangunnya fasilitas tersebut.

Dikatakan, limbah B3 medis dari fasyankes yang diproses dalam Insinerator adalah barang atau sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan lagi, yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius, berupa masker, sarung tangan, perban, tisyu, alat suntik, set infus, alat pelindung diri dan barang padat  lainnya yang semuanya bekas dipakai, dan bukan limbah cair.

"Oleh karena itu, informasi yang beredar di masyarakat bahwa di lokasi tersebut akan dijadikan TPA sampah yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan adalah tidak benar," kata Siauta.

Dia menjelaskan, Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah diubah Dengan UU nomor 11 tahun 2019 tentang Cipta Karya, menyebutkan, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan wajib  dilengkapi dengan dokumen lingkungan.

Jenis dokumen lingkungan yang wajib dimiliki oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan disesuaikan dengan skala atau besaran suatu usaha dan/atau kegiatan.

Di dalam Lampiran I PermenLHK nomor 4 tahun 2021 disebutkan, untuk jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan Insinerator merupakan kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Di dalam lampiran yang sama pula, untuk jenis kegiatan konstruksi bangunan dengan skala besaran luas lahan terbangun di bawah satu hektar, dan luas bangunan terbangun di bawah 10.000 meter bujursangkar masuk dalam skala/besaran Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemanfaatan Lingkungan (UKL UPL).

Roy Siauta menuturkan, pihaknya telah bekerja sesuai yang diamanatkan dalam Lampiran I PermenLHK nomor 4 tahun 2021 tersebut. Di mana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 termasuk dalam jenis kegiatan konstruksi bangunan yang wajib UKL UPL.

Sedangkan untuk operasionalnya termasuk dalam kegiatan yang wajib AMDAL. Dengan demikian, sebelum fasilitas tersebut dioperasikan, akan didahului dengan penyusunan dokumen AMDAL.