Kenapa menjadi kewajiban, kata Mutiara, frekuensi yang dpakai milik masyarakat Maluku, dan harus digunakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Anehnya, belasan SSJ dan LPS Televisi Swasta termasuk Diskominfo Channel yang pinjam frekuensi publik, tidak memenuhi kewajiban.

“Mereka seharunsya memberikan informasi, edukasi, mempererat NKRI, kebudayaan, kerukunan daerah ini tetap terjaga termasuk hiburan dan ekonomi yang bisa memajukan daerah,” tandasnya. 

Yang kita lihat, lanjut dia, mereka tidak ada SDM local. Studio yang ada hanya akal-akalan, tidak pernah digunakan.

Semua siaran pun gunakan Rumah Produksi (Production House/PH), yang menurut mereka  ada di Maluku. Tetapi, ketika KPID Maluku tanya PH-nya siapa, dan mana perjanjian kerjasama, justru tidak bisa dibuktikan.

Mutiara memberberkan, program yang disuguhkan (tayangannya) berulang-ulang. Bahkan ditemukan ada tayangan dimana orangnya sudah meninggal dunia masih ada.

Selain itu, ada tayangan semisal lokasi pantai Natsepa sudah berubah, tetapi yang dipublikasikan adalah produk lama.

Seharusnya, kata dia, konten 10 persen meningkat dari tahun ke tahun sampai 50 persen.

Diakuinya, belasan SSJ dan LPS Televisi Swasta temrasuk Diskominfo Channel, ada yang sudah eksis lebih dari 10 tahun di Maluku. Namun konten yang dipublikasikan baru 4 – 6 konten.

Ia menyebut, lembaga penyiaran yang sudah memenuhi konten local di Maluku adalah Kompas TV.

“Kompas TV Ambon telah meberikan contoh, dimana produksi konten local bisa diterapkan selain TVRI,” pungkasnya.

Dengan kondisi seperti ini, KPID Maluku berharap dukungan dari pemerintah daerah, dimana Komisi I DPRD Maluku datang menyaksikan langsung situasi yang dialami KPID Maluku.

Ia mengatakan, KPID Maluku pertama pada 2005. Dan menempati gedung tersebut pada 2008 sampai 2021. Namun situasinya sangat minim fasilitas.

Dulu, kata dia, KPID Maluku punya ruangan dan satu ruang pemantauan, tapi sejak 2018 kami hanya punya ruangan di belakang Gedung Diskominfo Maluku (bekas kantin/dapur) di kawasan Perigi Lima.

Tembok, plafon dan lantai sudah rusak. Terkadang mereka harus bekerja tiba-tiba kucing jatuh dari atas, lalu bocor, semua peralatan dipindahkan, printer dan computer juga rusak.

“Jadi aneh komisioner baru, tetapi fasilitas yang kami terima tidak layak,” keluh Muitiara.

Padahal, fungsi pekerjaan utama KPID adalah melakukan pemantauan. Akibat faslitasi sangat minim sehingga tugas untuk melayani masyarakat tidak berjalan dengan maksimal.

“Bagaimana masyarakat mau dapat informasi yang layak, jika ruang kerja dan fasilitas KPID Maluku tidak representative,” kata Mutiara.

Kadang-kadang komisioner tidak bisa bekerja. Alasannya, karena meja kursi sudah patah dan lapuk. Karena begitu taruh laptop, meja akan patah.

“Bisa-bisa kami dapat tegur dari Satgas Covid-19. Karena kalau bertujuh (komisioner), kami terima tamu dari satu lembaga bisa 3 atau 4 orang dengan ruang sempit seperti ini sudah full duduk berdempetan,” curhatnya. (BB-SSL)