Idul Fitri Bukan Sekedar Kemenangan

Zakat juga dapat diartikan dengan infak dan sedekah. Ini artinya zakat tidak terbatas pada ruang dan waktu dan mesti dilakukan secara kontinyu dan konsisten. Mungkinkah kaum dhu’afa lepas dari belenggu kemiskinan jika hanya menerima zakat fitrah yang frekuensinya setahun sekali? Bukankah zakat fitrah secara kuantitatif demikian terbatas? Dapat diasumsikan bahwa jawabannya tidak bisa.
Agar tidak melahirkan luka sosial yang permanen maka zakat memiliki makna yang fleksibel dan dapat diperluas. Waktu pelaksanaannya juga tidak boleh dibatasi hanya pada momen menjelang Idul Fitri saja. Pesan moral yang mesti ditangkap adalah bahwa berbagi kepedulian sosial yang disimbolkan dengan zakat fitrah dan infak serta sedekah harus dilakukan setiap waktu dan dimana saja. Tanpa pemahaman seperti itu, zakat fitrah hanya sejenis ritual yang terjadi secara berulang namun tidak membawa efek perubahan yang berarti.
Terdapat pemahaman yang keliru, bahwa membayar zakat fitrah menggugurkan kewajiban-kewajiban lain seperti membantu kaum dhu’afa. Pemahaman seperti ini mesti dikikis. Zakat pada hakikatnya sejenis ritual simbolik yang penuh pesan-pesan kemanusiaan. Tinggal bagaimana umat Islam bersikap jujur dan berani untuk melihat zakat dari perspektif yang luas dan humanis. Inilah yang mesti dirawat agar ruh Idul Fitri tidak kering dan kandas dalam pusaran sejarah.
Memang pada sisi tertentu benar, zakat fitrah dapat menghapus duka dan lara, namun pertanyaan selanjutnya adalah sampai kapankah keberlangsungannya? Bagaimana dengan kelanjutan hidup dari kaum dhu’afa selama sebelas bulan selanjutnya pasca Idul Fitri? Transformasi bentuk zakat fitrah ke aksi sosial jauh lebih penting, baik dilakukan secara individual maupun kolektif, secara personal maupun institusional.
Selain itu, umat Islam yang berkecukupan kerap mengeluarkan zakat maal (zakat harta) pada bulan Ramadhan. Tradisi ini dapat dikelola agar lebih produktif. Misalnya, mengeluarkan zakat maal bukan untuk aktifitas-aktifitas yang bersifat konsumtif dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, melainkan pemberian modal usaha sehingga pada akhirnya sang mustahik (penerima zakat) akan menjadi mandiri.
Masalah kemiskinan juga masih menjadi momok yang mengerikan bagi umat Islam. Jika dilihat dari angka statestis maka hampir dapat dipastikan di Indonesia jumlah penduduk miskin itu sebagian besarnya adalah umat Islam. Ada sebanyak 25,95 juta orang (9,82 persen) jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Maret tahun 2018. Mereka yang masuk dalam katagori miskin ini terdata memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Malam menjelang Idul Fitri, gema suara takbir sering beriringan dengan pemandangan yang kurang elok. Ratusan bahkan ribuan kaum dhu’afa menanti belas kasih orang-orang yang mampu untuk mendapatkan bagian zakat maupun sekedar infak dan sedekah. Wajah muram umat Islam ini menjadi masalah tersendiri dan melahirkan catatan negatif bagi banyak pihak. Islam seolah-olah amat identik dengan kemiskinan.