Ketiga, kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana militer (JAM Pidmil). Dengan dicantumkannya JAM Pidmil pada UU Kejaksaan akan semakin memperkuat kedudukan JAM Pidmil. “Saya harap JAM Pidmil dapat segera menorehkan prestasi dalam penyelesaian perkara-perkara koneksitas,”pintanya.

Ke-empat, arah penegakan hukum yang lebih mengedepankan keadilan restoratif. Kebijakan hukum pidana Indonesia telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif.

Melalui Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi.

Prinsip keadilan hukum akan selalu menjadi hal yang utama dalam setiap upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan cara menimbang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, serta menyeimbangkan yang tersirat dan tersurat berdasarkan Hati Nurani.

“Saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani,” tandasnya.

Kelima, kewenangan melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana. Melalui undang-undang ini, Kejaksaan memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyadapan.

Penyadapan tidak hanya diperlukan dalam tahap penyidikan saja, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, dan pencarian buron.

“Hati-hati dan jangan disalahgunakan dalam menggunakan kewenangan ini karena terkait dengan hak privasi. Di samping itu, kita akan menambah satu pusat lagi yaitu pusat pemantauan [monitoring center] yang akan menunjang pelaksanaan tugas penyadapan,” imbuhnya.

Keenam, pengembangan kesehatan yustisial. Permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa sering dijadikan alibi untuk menunda proses penegakan hukum. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menunda-nunda pemeriksaan.

Oleh karena itu, Kejaksaan wajib menyelenggarakan kesehatan yustisial dalam bentuk pembangunan atau tata kelola rumah sakit Adhyaksa yang dapat mendukung penegakan hukum secara efektif dan efisien.

Ketujuh, kewenangan dalam pemulihan aset. Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak. Keberadaan Pusat Pemulihan aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini.

Kedelapan, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 bahwa Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melakukan pengamanan terhadap peredaran barang cetakan harus melakukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan.

Mengingat perkembangan teknologi, maka tidak hanya barang cetakan namun juga harus diperluas kepada berbagai bentuk objek multimedia.

Setiap tindakan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang dilakukan oleh Kejaksaan harus melalui proses pengadilan baik melalui penetapan dan/atau putusan oleh Pengadilan.

Kesembilan, kewenangan intelijen penegakan hukum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka kewenangan intelijen tidak hanya untuk kepentingan Kejaksaan, melainkan juga untuk kepentingan negara dalam proses penegakan hukum.

Kesepuluh, perlindungan Jaksa dan keluarganya serta Jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api. Perlindungan Jaksa ini akan memberikan keamanan dan kenyamanan Jaksa beserta keluarganya terhadap adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda.

Untuk penggunaan senjata api, harus dilakukan secara selektif mungkin. Ketidakcakapan Jaksa dalam menggunakan senjata api sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan membahayakan orang lain serta institusi.

Kesebelas, status Jaksa sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki kekhususan. Jaksa memiliki karakteristik khusus yang tidak dapat dimiliki oleh PNS. Jaksa harus dipandang sebagai profesi hukum. Sebab selain harus memiliki keahlian dan keterampilan hukum, Jaksa juga harus berperilaku sesuai dengan standar minimum profesi Jaksa, kode etik profesi, dan doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa.

Keduabelas, syarat usia menjadi Jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun. Usia muda untuk menjadi Jaksa sebagai penyesuaian dari dunia pendidikan yang menghasilkan lulusan muda. Hal ini sekaligus untuk memberikan kesempatan karier yang lebih panjang.

Ketigabelas, pengembangan karier Jaksa. Di sini saya memberikan perhatian kepada tata kelola Jaksa Fungsional dalam mengembangkan karirnya.