BERITABETA.COM, Ambon - Jaringan Masyarakat Sipil [JMS] untuk advokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual [RUU TPKS] meminta kerja kolaboratif percepatan pengesahan RUU TPKS antara Pemerintah dan DPR RI  tetap bersandar pada kepentingan penghapusan kekerasan seksual.

RUU ini diharapkan cepat tuntas untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang mampu melindungi warga negara dan menjamin keadilan bagi korban, tidak  sarat dengan kepentingan politik.

“Berdasarkan pemantauan kami, sepanjang proses pembahasan oleh DPR RI ada 85 pasal krusial yang telah dipangkas dalam draft RUU TPKS pada bulan Desember 2021. Kami memandang proses pembahasan RUU ini sarat dengan kepentingan politik dari fraksi-fraksi,” ungkap salah satu aktivis yang tergabung dalam JMS, Rena Herdiyani dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Kamis (6/2/2022).

Rena menguraikan,  penegasan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bersama, menjadi angin segar bagi korban. Apalagi, Presiden juga mendorong langkah-langkah percepatan pengesahan RUU yang hingga kini masih berproses.

“Kami sangat mengapresiasi dukungan yang telah diberikan oleh Presiden,” tandasnya.

Dijelaskan, perjuangan JMS dalam mengawal advokasi sejak tahun 2016 ini, bertujuan untuk menghadirkan kebijakan substantif. Dan ini perlu terus digaungkan.

Sejalan dengan itu, kata dia, Presiden RI  juga meminta kepada Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan bersama akan lebih cepat.

Hal senada juga disampaikan Kekek AD Harijanti. Menurutnya, dalam kesempatan lain, Pimpinan DPR RI, Puan Maharani juga telah menanggapi positif arahan Presiden Jokowi untuk melakukan percepatan proses pembahasan dan menjanjikan bahwa RUU TPKS akan menjadi bagian yang dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI 13 Januari 2022.

“Saat ini RUU TPKS telah  menjadi inisiatif DPR dan pada Rapat Paripurna 16 Desember 2021 sempat gagal untuk dibahas,” ungkapnya.

Untuk itu, kata dia, JMS memandang upaya pengawalan harus tetap terus dilakukan secara intens oleh semua pihak untuk memastikan substansi yang komprehensif dan memenuhi kebutuhan korban, keluarga korban, serta pelindungan pendamping di lapangan.

“Kami juga mengapresiasi Badan Legislasi DPR RI yang selama ini telah melakukan kerja intens bersama Jaringan Masyarakat Sipil dengan mengakomodir beberapa usulan  tim penyusun Naskah  RUU TPKS dari masyarakat sipil, kendati masih ada beberapa poin yang belum diakomodir,” pungkas dia.

Dikatakan, lima poin dimaksud  meliputi bentuk kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran), hukum pidana dan hukum acara yang komprehensif, pelindungan pendamping korban, pemulihan hingga aturan yang jelas dalam penyelengaraan layanan bagi korban. 

“Kami merasa keberatan jika Draf RUU TPKS memasukan beberapa pengaturan terkait tindak kesusilaan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pengaturan pidana kekerasan seksual. Aspek kesusilaan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang lain, salah satunya KUHP,” sambung aktivis Perempuan Maluku Lusi Peilouw.

Menurut Lusi, tindak lanjut penyusunan RUU TPKS ini harus dikembalikan lagi kepada spirit perlindungan substantif terhadap korban, anggota keluarga, dan pendamping korban. Juga pengaturan pemulihan, pencegahan, rehabilitasi, pemidanaan yang memenuhi segala unsur tindakan kekerasan seksual yang selama ini tidak dijamin dalam Undang-Undang dan kebijakan lainnya. 

Lusi juga menyampaikan, sebagai bagian dari JMS, pihaknya sangat berharap DIM yang dimasukkan juag  akan memuat semua hal terkait dengan penanganan, pencegahan, pemulihan, pendampingan, tindak pidana kekerasan seksual yang memenuhi kepentingan dan rasa keadilan bagi korban di seluruh wilayah RI.

“Terutama bagi korban yang selama ini sulit mendapatkan keadilan karena pranata adat dan minimnya sumber daya penegakan hukum di daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal [3T],” pintanya.

Sedangkan Mike Verawati menegaskan pihaknya [Jaringan Masyarakat Sipil] juga menyampaikan beberapa poin rekomendasi dalam upaya mendukung terwujudnya pengesahan RUU TPKS ini.  Antartanya sebagai berikut:

1. Mendukung langkah Pemerintah lewat arahan Presiden Jokowi, dan mendorong untuk tetap melakukan fungsi monitoring terhadap proses pembahasan RUU TPKS baik di parlemen maupun pemerintah.

2. Mendorong Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk meneruskan proses percepatan penyusunan RUU TPKS yang berpedoman pada 6 elemen kunci yang penting bagi korban, dan memastikan RUU TPKS ketika disahkan dapat diimplementasikan dengan efektif.

3. Mendesak kembali kepada DPR-RI untuk tetap melakukan pembahasan RUU TPKS dalam Rapat Paripurna Sidang Pertama tahun 2022 pada tanggal 13 Januari 2022 seperti yang dijanjikan oleh pimpinan DPR RI.

4. Mendesak DPR memastikan proses pembahasan RUU TPKS di PANSUS Baleg DPR RI dengan target 6 bulan bisa disahkan, mengingat urgensi aturan ini. Pembahasan RUU TPKS atas dasar kepentingan sebesar-besarnya untuk perlindungan warga negara, dan pemenuhan rasa keadilan terhadap korban kekerasan seksual sebagai bagian dari tanggungjawab dan peran sebagai wakil rakyat. Tidak memposisikan proses RUU TPKS sebagai kepentingan politik transaksional.

5. DPR-RI dan pemerintah mengundang dan melibatkan semua elemen masyarakat dalam proses pembahasan, pengesahan sampai pelaksanaan RUU TPKS.

6. Mengajak semua jaringan elemen masyarakat yang selama ini telah melakukan advokasi dan mengawal advokasi RUU TPKS untuk tetap bersama-sama memperjuangkan hadirnya kebijakan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual, tidak hanya pada proses pembahasan RUU, pengesahan, dan juga nanti pada tahap implementasinya (*)

Editor : Redaksi