Jaflaun menuturkan, ungkapan ketua DPRD Maluku terkait permintaan DPRD KKT yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, karena tidak ada regulasi yang mengatur tentang hal itu.

"Bagi rakyat KKT, pernyataan ini telah menggiring opini publik seolah perjuangan dan aspirasi rakyat KKT adalah perjuangan dan aspirasi yang menabrak aturan perundang-undangan. Padahal sama sekali tidak," tegasnya.

Ia menjelaskan, perjuangan untuk mendapat pengakuan sebagai daerah penghasil dan terdampak berpijak dari Keputusan Presiden tentang skema pengembangan onshore yang akan berlokasi di daratan Pulau Yamdena, KKT.

Sehingga, menurut Jaflaun, paradigma industri migas bukan saja offshore, sebagaimana yang dkenal sejauh ini, tetapi juga paradigma onshore. Dan itu artinya, KKT akan menjadi daerah penghasil dan sekaligus terdampak.  Persoalannya belum ditetapkan saja oleh Menteri ESDM.

"Karena itu, kami menyampaikan aspirasi ini untuk menjadi bagian perjuangan bersama dengan DPRD Maluku agar dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM. Kok itu dianggap menabrak aturan perundang-undangan?" sentilnya.

Demikian halnya dengan perjuangan PI 10%, menurut Jaflaun, sebagaimana tertuang pada pasal 17 Permen ESDM adalah karena terdapat ruang tafsir yang berbeda. “

“Apakah BUMD Provinsi atau BUMD Kabupaten/Kota, atau bersama-sama. Karena itu, KKT mengajukan diri untuk ikut mengambil bagian,” tandasnya. (BB-LS)