BERITABETA.COM, Ambon – Wacana mengenai penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan Presiden-Wakil Presiden RI muncul lalu menuai silang pendapat di tengah publik. Issue ini heboh hingga ‘bergemuruh’ di jejaring sosial media.

Sebagain besar rakyat Indonesia termasuk Pakar Hukum Tata Negara menolak wacana penundaan pemilu sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden-wapres. Sebab ide ini hanya dihembuskan oleh oknum pejabat sekelas Menteri termasuk beberapa orang politisi dari partai politik tertentu.

Issue ini dapat terwujud bila Konstitusi atau UUD 1945 telah diamandemen atau Presiden menerbitkan dekrit. Tapi hal tersebut juga dinilai akan lebih rumit.

Pakar Hukum Tata Negara Perpanjangan Dr. Margarito Kamis saat dimintai pendapatnya oleh Beritabeta.com melalui telepin seluler pada Sabtu (12/03/2022) menegaskan, wacana terkait penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan Presiden – Wakil Presiden ini harus dilakukan melalui amandemen UUD 1945 [konstitusi].

Margarito menganggap, hembusan issue yang ditiup oknum tertentu yang maun pelaksanaan pemilu ditunda sekaligus masa jabatan Presiden-Wapres RI diperpanjang, hanya beraroma politis, karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Alasannya, saat ini pada UUD 1945 tidak termaktub satu klausal atau pasal yang mengharuskan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres.

"Jika mau tunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan prrsiden-wapres, ya ubah itu UUD 1945, atau Presiden mengeluarkan dekrit untuk memperpanjangan masa jabatannya. Silakan saja, itu nanti rakyat yang menilai," tandas Margarito.

Anak bimbingan mendiang Jaksa Agung Baharudin Lopa [Alm] ini merujuk pada Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Kentuan Pasal 7 UUD 1945 sudah sangat jelas dan tegas. Jadi, saat ini tidak ada alasan yang kuat secara hukum maupun politik untuk menunda pemilu, termasuk memperpanjang masa jabatan Presiden - Wapres. Jika tetap dilakukan, otomatis itu inkonsistusional,” tegasnya.

Ia menganjurkan peniup issue dimaksud agar memperbaiki pola pikir. Maragrito menyarankan agar ihwal ini disampaikan atau diusulkan ke MPR RI. Sekaligus, pengusul menguraikan alasan mengenai penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres dengan alasan hukum yang kuat.

“Amandemen UUD 1945 dapat dilakukan melalui sidang MPR RI, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR RI,” jelasnya.

Ahli Hukum Tata Negara berujar, perubahan klausal [pasal-pasal] pada UUD 1945, harus disampaikan atau diajukan secara tertulis termasuk [pengusul] menunjukkan dengan jelas serta terperinci mengenai bagian [usulan] yang ingin diubah di MPR.

Selain itu, untuk mengubah pasal-pasal yang tertuang pada UUD 1945, saat sidang MPR harus atau wajib dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 orang, dari jumlah anggota MPR RI.

Margarito mengungkapkan, keputusan untuk mengubah pasal-pasal pada UUD 1945 pun harus dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen, ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

“Ada dua cara yaitu, ubah secara konvensional sesuai Pasal 37. Yakni pengusul harus memberi alasan. Kemudian juga memberikan alasan mengapa masa jabatan presiden harus diubah? alasan ini wajib dipresentasikan di MPR. Jika MPR setuju, maka diubah dan beres,” celutuknya.

Ia enggan mau mengomentari masalah ini secara politik. “Saya kira orang-orang politik mengerti maslaah ini hanya sebatas mendapat persetujuan dari beberapa ketua partai, kemudian semuanya jadi beres,” ketusnya.

Ia berpendapat mengenai usulan penundaan pemilu termasuk perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres juga dapat ditempuh dengan jalan Presiden menerbitkan dekrit. Tapi, cara ini dianggapnya juga sulit.

Margarito berdalih, dekrit dapat terbit atau keluar, hal ini memerlukan konsolidasi yang kuat. Termasuk mendapat dukungan dari TNI dan Polri.

“Lebih penting lagi jika ingin dekrit, ya silakan bicara juga dengan tentara maupun polisi,” anjur mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara ini.

Bila opsi ini tidak didukung oleh TNI dan Polri, Margarito lalu menganjurkan kepada pengusul ide tunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wapres itu, agar bersumpah untuk menjaga UUD 1945 termasuk bekerja dengan benar sesuai ketentuan konstitusi.

Ia mengenang Presiden RI pertama Soekarno pada 5 Juli 1959 silam yang mengumumkan Dekrit Presiden. Isi [dekrit] dimaksud yaitu membubarkan Konstituante atau DPR, dan UUD 1945 kembali berlaku.

Lalu di era Abdurrahman Wahid (Alm), Presiden RI ke-empat ini juga menerbitkan dekrit pada 23 Juli 2001, yang isinya membubarkan DPR dan MPR. Tapi, lanjut dia, karena tidak didukung oleh parpol dan lain-lain termasuk tentara, maka [dekritnya] gagal.

“Berbeda dengan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 silam yang berhasil mengeluarkan dekrit. Sebab dekrit tersebut dapat keluar, karena saat itu Panglima TNI adalah pak Jenderal Abdul Haris Nasution. Beliau memberikan dukungan total. Bila tidak ada dukungan dari beliau, maka dekrit Presiden Soekarno itu tak mungkin ada,” pungkas Dosen Fakultas Ilmu Hukum Unkhair Ternate ini.  (BB)

 

Editor : Samad Vanath Sallatalohy