Tiga cabang kekuasaan tersebut di Indonesia ditambahkan satu prinsip yang melekat pada tiga cabang kekuasaan dimaksud yaitu prinsip check and balances.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merupakan bentuk realisasi dari pada konsep yudisialisasi politik yang memberikan dampak signifikan terhadap keberlakuan UU Cipta Kerja.

Putusan a quo pada intinya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat walaupun frasa bersyarat tersebut bagi penulis sangatlah multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum. 

Apa maknanya, artinya bahwa pembentukan UU tersebut tidak konstitusional, dan keberlakuannya pun berlaku dengan syarat yaitu sebagaimana tertuang dalam Putusan MK yakni dua tahun perbaikan oleh DPR dan Pemerintah. Akan lebih Panjang lagi jika kita melakukan suatu eksaminasi terhadap Putusan a quo.

Dalam putusan a quo Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada DPR dan Pemerintah selama dua tahun untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap proses pembuatan UU Cipta Kerja.

Namun apabila pada waktu yang telah ditentukan tersebut tidak ada realisasi yang kemudian dilakukan oleh DPR dan Pemerintah terhadap Putusan MK secara mutatis mutandis setiap peraturan perundang-undangan yang dinayatakan tidak berlaku lagi atas berlakunya UU Cipta Kerja dapat berlaku kembali.

Dalam konteks yudisialisasi politik Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat memberikan Pengaruh yang sangat besar terhadap sebuah kebijakan dalam hal ini UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Disini pun sebenarnya menurut hemat penulis, terjadi ketersinggungan antara dua kekuasaan yaitu Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif terhadap kekuasaan yudisial dalam hal ini dijalankan oleh MK.

Konsekuensi lanjut dari Putusan MK tersebut bagi penulis bisa saja menciptakan ketegangan politik dalam nuansa tiga kekuasaan dimaksud.