Dalam dunia bisnis apapun, setiap pengusaha pasti tak ingin rugi. Begitu juga oknum pebisnis di sector perkebunan dan kehutanan. Namun, dalam urusan kelancaran bisnis, ketentuan serta etika dan norma diabaikan. Hak ulayat masyarakat adat pun diserobot.

Kasus pembalakan liar dan pengrusakan hutan milik masyarakat adat Sabuai Kecamatan Siwalalat Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, salah satu contoh kecil saja dari beberapa kasus yang pernah terjadi di daerah (kabupaten/kota) lain di wilayah Maluku. Mungkin juga ada kasus serupa di lain tempat, tetapi belum terungkap.a

Ketika penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat adat terjadi, disini peran dan tugas ‘negara’ (pemerintah) harus bijakasana dalam melindungi masyarakat adat, agar mereka bisa merasakan keadilan.

Sebab keberadaan atau eksistensi masyarakat adat sejatinya telah dilindungi, dihargai dan dihormati oleh negara. Karena masyarakat adat itu merupakan Warga Negara Indonesia. Mereka jangan dipandang dengan “sebelah mata”.

Masyarakat adat di Maluku maupun di luar Maluku, mereka tidak akan kasar bila pengusaha atau investor, dalam menjalankan bisnis misalnya di sector perkebunan dan kehutanan, menghormati kenetuan peraturan dan perundang-undangan dan hak-hak adat.

Soal hak negara dan masyarakat adat khusus di sector kehutanan sudah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Ketentuan tersebut sangat jelas memilah mana hak negara dan masyarakat adat. Pada Bab I ketentuan umum Pasal 1 menjelaskan secara jelas dan tegas;

(1) Kehutanan adalah system pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

(2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

(3) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

(4) Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.  (5) Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

(6) Hutan adat hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. (7) Hutan produksi adalah kawasan hidup yang mempunyai fungsi pokok memperoduksi hasil hutan.

(8) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

(9) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas  tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

(10) Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

(11) Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(12) Taman baru adalah Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. (13) Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. (14) Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. (15) Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Terkait kasus kasus pembalakan liar (illegal logging) dan tindakan penyorobotan hak ulayat bentuk dari kejahatan lingkungan terorganisasi. Hal terseebut sudah jadi rahasia umum. Bukan lagi hal tabu.

Undang-undang No 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah tegas mengatur hukuman pidana 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Selain itu Undang-undang RI No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Pengrusakan Hutan dan Undang-undang RI No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan saksi pidana minimum 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp1,5 miliar.

Ada pula Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 27 tahun 2018 jo 7 tahun 2019 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan.

Kaitannya dengan itu dalam pengajuan permohonan rekomendasi IPPKH harus betul-betul dilakukan instansi pemerintah terkait dengan selektif. Intinya, merujuk ketentuan yang berlaku, jangan membijaki UU atas keinginan dan kepentingan tertentu.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 lalu menybutkan; tingkat deforestasi hutan di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2017-2018 mencapai 0,44 juta hektare.

Kasus pembalakan liar dan penyerobotan hutan adat di Indonesia termasuk di wilayah Provinsi Maluku belum mampu ditumpas.

Merjuk ketentuan di atas, jika melihat kasus pembalakan liar dengan jalan penyerobotan lahan yang pernah terjadi di Maluku semisal Sabuai, hendaknya pemerintah menjalankan ketentuan UU tentang Kehutanan, termasuk Lingkungan Hidup secara nyata, tidak boleh samar-samar.

Pemerintah termasuk legislatif, elemen masyarakat yang focus di sector perkebunan, kehutanan dan lingkungan hidup punya tanggungjawab yang sama untuk mengawal, mengawasi serta menyelamatkan hutan Maluku agar tetap lestari, dan tidak seenaknya dibabat oknum pebisnis jahil.

Oknum pebisnis, yang bertindak di luar ketentuan dimana melakukan pengrusakan hutan dan pembalakan liar, sejatinya patut ditindak secara tegas.

“Selangkangan” ulayat masyarakat adat dan hutan produksi milik negara harus sama-sama dilindungi. Sehingga masyarakat adat maupun “negara” tidak menelan kerugian alias menjadi korban.

Hak ulayat masyarakat adat tak pelak jadi korban dari hegemoni oknum pebisnis. Kayu di Maluku berkualitas sehingga sering diincar pebisnis. Namun dalam perjalanan ulayat masyarakat adat diserobot dengan dalil investasi perkebunan.

Ironi itu menuntut Pemerintah untuk bekerja ekstra dalam menjaga hutan di wilayah Provinsi Maluku termasuk ulayat masyarakat adat, agar tidak lenyap, dirampok oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Mengenai pemberian ijin kepada pengusaha atau investor di sector perkebunan dan kehutanan, sepatutnya diawasi ketat. Hal itu sebagai bentuk pencegahan, agar hutan Maluku tidak mudah dibabat secara liar oleh oknum pengusaha nakal.

Praktik kejahatan pembalakan liar patut dihentikan. Pemerintah termasuk legislative harus taat dan menjalankan tugasnya dengan menghormati berbagai ketentuan yang ada di negeri ini.

Hak ulayat masyarakat adat, sejatinya dihargai, dihormati dan dilindungi. Jangan balik dirampok.

Sebelum peneribitan ijin kepada perusahaan atau investor untuk eksis di lapangan, instansi pemerintah terkait harus cerdas melakukan telaah dan analisa secara ‘tajam’. Hindari konspirasi dan manipulasi dalam urusan administrasi.

Ijin yang diberikan kepada pengusaha (investor) untuk eksis di kawasan hutan Maluku, instansi terkait harus memastikan seluruh persyaratan wajib dipenuhi oleh investor.

Ini penting, agar dalam perjalanan tidak ada yang merasa dirugikan termasuk masyarakat adat. Kaitannya dengan itu, tentang luas areal dan lain sebagainya harus disurvei dengan akurat. Tentunya, harus merujuk pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Monitoring atau pengawasan pun harus dilakukan continue dan ketat. Hal ini dimaksudkan agar investor bisa bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada.

Sebaliknya, jangan kemudian memberi ijin lalu pihak instansi pemerintah terkait balik belakang (abaikan pengawasan).

Pengawasan penting dilakukan untuk mengetahui apakah investor telah komitmen menjalankan berbagai mekanisme peraturan dan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

Hasil pengawasan tentu menjadi bahan acuan serta evaluasi atau rujukan sebelum pihak dari instansi pemerintah terkait mengambil keputusan.

Bagi perusahaan yang diberikan ijin oleh pemerintah khusus dalam pembalakan, wajib melakukan penanaman ulang. Sehingga hutan tak botak permanen.

Belajar dari kasus Sabuai, sejatinya dilihat pada kausalitas (sebab akibat). Masyarakat adat ingin hidup layak dan tentu mau daerahnya maju.

Jika ketentuan dipenuhi atau dijalankan oleh investor dan pihak instansi pemerintah terkait menghormati dan menghargai ulayat masyarakat adat, tidak mungkin masyarakat adat melakukan penolakan.

Sebaliknya, bila mereka (masyarakat adat) tidak dihargai bahkan dizalimi, maka gerakan penolakan disertai aksi kekerasan pun bisa terjadi.

Kasus Sabuai semoga menjadi bahan pelajaran berharga serta cerminan berarti bagi para pengambil kebijakan mulai pusat hingga daerah.

Pemerintah termasuk legislative, hendaknya berlaku adil dalam menjalankan amanah sebagai abdi negara yang baik dengan menjunjung tinggi Konstitusi dan Pancasila.

Intinya, menghormati dan menghargai hak ulayat masyarakat adat, bukan suatu perbuatan atau tindakan penistaan terhadap agama dan negara. (*)