Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 lalu menybutkan; tingkat deforestasi hutan di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2017-2018 mencapai 0,44 juta hektare.

Kasus pembalakan liar dan penyerobotan hutan adat di Indonesia termasuk di wilayah Provinsi Maluku belum mampu ditumpas.

Merjuk ketentuan di atas, jika melihat kasus pembalakan liar dengan jalan penyerobotan lahan yang pernah terjadi di Maluku semisal Sabuai, hendaknya pemerintah menjalankan ketentuan UU tentang Kehutanan, termasuk Lingkungan Hidup secara nyata, tidak boleh samar-samar.

Pemerintah termasuk legislatif, elemen masyarakat yang focus di sector perkebunan, kehutanan dan lingkungan hidup punya tanggungjawab yang sama untuk mengawal, mengawasi serta menyelamatkan hutan Maluku agar tetap lestari, dan tidak seenaknya dibabat oknum pebisnis jahil.

Oknum pebisnis, yang bertindak di luar ketentuan dimana melakukan pengrusakan hutan dan pembalakan liar, sejatinya patut ditindak secara tegas.

“Selangkangan” ulayat masyarakat adat dan hutan produksi milik negara harus sama-sama dilindungi. Sehingga masyarakat adat maupun “negara” tidak menelan kerugian alias menjadi korban.

Hak ulayat masyarakat adat tak pelak jadi korban dari hegemoni oknum pebisnis. Kayu di Maluku berkualitas sehingga sering diincar pebisnis. Namun dalam perjalanan ulayat masyarakat adat diserobot dengan dalil investasi perkebunan.

Ironi itu menuntut Pemerintah untuk bekerja ekstra dalam menjaga hutan di wilayah Provinsi Maluku termasuk ulayat masyarakat adat, agar tidak lenyap, dirampok oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Mengenai pemberian ijin kepada pengusaha atau investor di sector perkebunan dan kehutanan, sepatutnya diawasi ketat. Hal itu sebagai bentuk pencegahan, agar hutan Maluku tidak mudah dibabat secara liar oleh oknum pengusaha nakal.

Praktik kejahatan pembalakan liar patut dihentikan. Pemerintah termasuk legislative harus taat dan menjalankan tugasnya dengan menghormati berbagai ketentuan yang ada di negeri ini.

Hak ulayat masyarakat adat, sejatinya dihargai, dihormati dan dilindungi. Jangan balik dirampok.

Sebelum peneribitan ijin kepada perusahaan atau investor untuk eksis di lapangan, instansi pemerintah terkait harus cerdas melakukan telaah dan analisa secara ‘tajam’. Hindari konspirasi dan manipulasi dalam urusan administrasi.

Ijin yang diberikan kepada pengusaha (investor) untuk eksis di kawasan hutan Maluku, instansi terkait harus memastikan seluruh persyaratan wajib dipenuhi oleh investor.

Ini penting, agar dalam perjalanan tidak ada yang merasa dirugikan termasuk masyarakat adat. Kaitannya dengan itu, tentang luas areal dan lain sebagainya harus disurvei dengan akurat. Tentunya, harus merujuk pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Monitoring atau pengawasan pun harus dilakukan continue dan ketat. Hal ini dimaksudkan agar investor bisa bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada.

Sebaliknya, jangan kemudian memberi ijin lalu pihak instansi pemerintah terkait balik belakang (abaikan pengawasan).

Pengawasan penting dilakukan untuk mengetahui apakah investor telah komitmen menjalankan berbagai mekanisme peraturan dan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

Hasil pengawasan tentu menjadi bahan acuan serta evaluasi atau rujukan sebelum pihak dari instansi pemerintah terkait mengambil keputusan.

Bagi perusahaan yang diberikan ijin oleh pemerintah khusus dalam pembalakan, wajib melakukan penanaman ulang. Sehingga hutan tak botak permanen.

Belajar dari kasus Sabuai, sejatinya dilihat pada kausalitas (sebab akibat). Masyarakat adat ingin hidup layak dan tentu mau daerahnya maju.

Jika ketentuan dipenuhi atau dijalankan oleh investor dan pihak instansi pemerintah terkait menghormati dan menghargai ulayat masyarakat adat, tidak mungkin masyarakat adat melakukan penolakan.

Sebaliknya, bila mereka (masyarakat adat) tidak dihargai bahkan dizalimi, maka gerakan penolakan disertai aksi kekerasan pun bisa terjadi.

Kasus Sabuai semoga menjadi bahan pelajaran berharga serta cerminan berarti bagi para pengambil kebijakan mulai pusat hingga daerah.

Pemerintah termasuk legislative, hendaknya berlaku adil dalam menjalankan amanah sebagai abdi negara yang baik dengan menjunjung tinggi Konstitusi dan Pancasila.

Intinya, menghormati dan menghargai hak ulayat masyarakat adat, bukan suatu perbuatan atau tindakan penistaan terhadap agama dan negara. (*)