BERITABETA.COM – Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tak serta merta Indonesia lepas dari pemberontakan dalam negeri. Di beberapa daerah dengan dalih menolak bergabung dengan NKRI, terjadi pemberontakan. Termasuk, salah satunya adalah Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 25 April 1950.

“Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.”

Begitu awal penggalan proklamasi RMS yang ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairizal enam puluh sembilan tahun silam. Tepatnya, 25 April 1950.

Terbentuknya RMS memang membuat Pemerintah Indonesia khawatir. Upaya membujuk pimpinan RMS dengan jalan damai pun dilakukan Soekarno. Namun sayang, upaya tersebut ditolak RMS. Pemberontakan RMS pertama kali pecah di Ambon pada November 1950.

Pemerintah mengutus Kolonel E Kawilarang untuk menumpas RMS. Pada tahun 1963, Christian Robert Steven Soumokil berhasil ditangkap dan dihukum mati atas putusan Mahkamah Militer pada 12 April 1966.

Jauh sebelum Kolonel E Kawilarang tiba di Ambon, ada sebuah kisah gerakan penumpasan RMS yang dilakukan pemerintah yang cukup beresiko.  Kisah ini bermula dari   mengamuknya tentara KNIL di Makassar awal Agustus tahun 1950. Dan diduga kuat berkaitan dengan penyerangan stasiun radio (zenderpark) RMS di Kota Ambon oleh dua B-25 pada tanggal 4 Agustus 1950. Bagaimana jalan ceritanya?

Sebagaimana biasa di setiap konflik sampai ke tingkat paling radikal, perang, propaganda menjadi alat paling ampuh untuk menekan lawan. Menyadari itulah, RMS merebut stasiun pemancar RRI Ambon. Dengan leluasa RMS kemudian melempar isu-isu sensitif guna menarik simpati rakyat. Aksi “perang mulut” ini ditanggapi cepat oleh TM. Hingga suatu saat di awal bulan Agustus 1950, ruang operasi Lanud Kendari menerima perintah dari Mabes AURI untuk “mendiamkan” radio RMS.

Awak disiapkan. Pesawat dalam kondisi balk, bom tersedia cukup. Hari “H” ditetapkan 4 Agustus. Celakanya, B-25 M-460 hanya memiliki senapan mesin 12,7 mm saja. Ternyata lagi, fuse (sumbu) pada born sudah tidak layak digunakan, disamping jurulempar born (bombardir) juga tidakada. Kalaupun dipaksakan, risikonya sangat tinggi. Karena untuktepat mengenai sasaran, pesawat harus terbang rendah (top tree level) saat menjatuhkan bom.

Disinilah bahayanya, ledakan bom akan menghantam badan pesawat. Sebenarnya masih bisa diakali dengan menggunakan delay fuse. Alat ini akan menunda ledakan minimal 12 detik, hingga memberi kesempatan pesawat keluar dari daerah bahaya. Itu dia masalahnya, “Kita nggak punya,” jelas Noordraven.