Selain itu, untuk mengubah pasal-pasal yang tertuang pada UUD 1945, saat sidang MPR harus atau wajib dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 orang, dari jumlah anggota MPR RI.

Margarito mengungkapkan, keputusan untuk mengubah pasal-pasal pada UUD 1945 pun harus dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen, ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

“Ada dua cara yaitu, ubah secara konvensional sesuai Pasal 37. Yakni pengusul harus memberi alasan. Kemudian juga memberikan alasan mengapa masa jabatan presiden harus diubah? alasan ini wajib dipresentasikan di MPR. Jika MPR setuju, maka diubah dan beres,” celutuknya.

Ia enggan mau mengomentari masalah ini secara politik. “Saya kira orang-orang politik mengerti maslaah ini hanya sebatas mendapat persetujuan dari beberapa ketua partai, kemudian semuanya jadi beres,” ketusnya.

Ia berpendapat mengenai usulan penundaan pemilu termasuk perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres juga dapat ditempuh dengan jalan Presiden menerbitkan dekrit. Tapi, cara ini dianggapnya juga sulit.

Margarito berdalih, dekrit dapat terbit atau keluar, hal ini memerlukan konsolidasi yang kuat. Termasuk mendapat dukungan dari TNI dan Polri.

“Lebih penting lagi jika ingin dekrit, ya silakan bicara juga dengan tentara maupun polisi,” anjur mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara ini.

Bila opsi ini tidak didukung oleh TNI dan Polri, Margarito lalu menganjurkan kepada pengusul ide tunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wapres itu, agar bersumpah untuk menjaga UUD 1945 termasuk bekerja dengan benar sesuai ketentuan konstitusi.

Ia mengenang Presiden RI pertama Soekarno pada 5 Juli 1959 silam yang mengumumkan Dekrit Presiden. Isi [dekrit] dimaksud yaitu membubarkan Konstituante atau DPR, dan UUD 1945 kembali berlaku.

Lalu di era Abdurrahman Wahid (Alm), Presiden RI ke-empat ini juga menerbitkan dekrit pada 23 Juli 2001, yang isinya membubarkan DPR dan MPR. Tapi, lanjut dia, karena tidak didukung oleh parpol dan lain-lain termasuk tentara, maka [dekritnya] gagal.

“Berbeda dengan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 silam yang berhasil mengeluarkan dekrit. Sebab dekrit tersebut dapat keluar, karena saat itu Panglima TNI adalah pak Jenderal Abdul Haris Nasution. Beliau memberikan dukungan total. Bila tidak ada dukungan dari beliau, maka dekrit Presiden Soekarno itu tak mungkin ada,” pungkas Dosen Fakultas Ilmu Hukum Unkhair Ternate ini.  (BB)

 

Editor : Samad Vanath Sallatalohy