Alasan yang dipakai oleh pihak Kejati Maluku, katanya tidak ada temuan kerugian keuangan negara.

Kasus ini diusut oleh Kejari Ambon lalu diambil-alih oleh Kejati Maluku pada November 2021 lalu, seterusnya ditutup setelah puluhan orang atau pihak terkait dimintai keterangan oleh tim penyelidik Kejari Ambon.

Terkini, Februari 2022 kasus dugaan tipikor anggaran Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun anggaran 2020 yang mana temuan BPK RI menyebut ada kerugian negara mencapai Rp5,3 miliar juga dihentikan oleh Kejari Ambon.

Kasus ini menyita perhatian publik Kota Ambon. Sebab, seluruh wakil rakyat Kota Ambon periode 2019-2024 termasuk tiga pimpinan DPRD Kota Ambon diduga menerima uang Rp5,3 miliar yang disebut oleh BPK merupakan kerugian negara.

Awalnya pihak Kejari Ambon bersemangat mengusut kasus ini. Mereka meminta atau memeriksa seluruh anggota dan tiga pimpinan DPRD Kota Ambon.

Sejumlah ASN dan mantan Sekretaris DPRD Kota Ambon serta Sekretaris DPRD Kota Ambon masih aktif juga telah dimintai keterangan. Beberapa orang pejabat teras di lingkup Pemkot Ambon juga sempat dimintai keterangan oleh jaksa.

Giliran kasus ini mau naik status ke penyidikan, justru pengusutannya dihentikan oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku dengan alasan para pihak terkait dengan kasus ini sudah mengembalikan uang kerugian negara.

Pasca sejumlah kasus tersebut dihentikan oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku, spekulasi atau wacana pun bermunculan.

Kejari Ambon dan Kejati Maluku dinilai belum komitmen dalam memberantas kasus dugaan tipikor di wilayah Maluku. Issue tebang pilih pun disematkan oleh publik kepada pihak Kejari dan Kejati Maluku.

Penyelesaian kasus dugaan tipikor di harapkan Korps Adhyaksa melakukan proses hukum secara jujur dan adil.

Asas kemanfaatan hukum, keadilan dan kepastian hukum mesti digunakan dan menjadi kompas atau pengarah bagi tiap insan Adhyaksa Ambon dan Maluku dalam menangani kasus atau perkara dugaan tipikor.

Penegakan supremasi hukum oleh pihak Korps Adhyaksa Ambon dan Maluku khusus dalam upaya penumpasan korupsi di wilayah provinsi seribu pulau, patut menghindari istilah order kasus.

Begitu juga dalam penyelesaian kasus dugaan tipikor dan gratifikasi di wilayah Maluku, tidak harus dilakukan melalui undertable alias di bawah meja.

Sebaliknya, penyelesaian kasus-kasus tersebut patut dilakukan dengan merujuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terlebih lagi bila sudah memiliki bukti yang kuat atau cukup, hendaknya diproses hingga ke meja hijau.

Keputusan siapa yang benar dan salah dalam setiap penanganan kasus atau perkara dugaan tipikor dan gratifikasi, ihwal tersebut merupakan kewenangan hakim pada pengadilan. Bukan kewenangan pihak Kejaksaan.

Aparatur kejaksaan dalam hal ini jaksa penyelidik dan jaksa penyidik bertugas melakuikan pengusutan lalu melimpahkan perakra ke pengadilan.

Sebaliknya tugas jaksa bukan ansih memutuskan perkara di tengah jalan tanpa ada proses persidangan di pengadilan.

Harapannya, sejumlah kasus dugaan tipikor oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku yang telah dihentikan di atas, semoga sudah sesuai dengan ketentuan, dan bukan karena ada tekanan atau intervensi dari siapapun.

Patut di garis bawahi disini, korupsi sudah menjadi musuh bersama bagi bangsa ini termasuk Maluku.

Sebab, pratik kotor oknum-oknum tertentu hanya memperkaya diri pribadi dan keluarga. Sebaliknya perbuatan keji mereka hanya menyengsarakan rakyat Indonesia termasuk Maluku.

Semangat Pemerintahan RI di bawah kepemimpjnan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin yakni memberantas korupsi di tahan air, mesti didukung oleh seluruh insan Indonesia termasuk di Maluku.

Tentunya, motor pemberantasan korupsi ini selain lembaga KPK, tugas mulai tersebut patut dilakukan dengan komitmen oleh setiap aparatur Kejaksaan dan Kepolisian.

Tiga lembaga penegak hukum di negara ini punya tugas dan fungsi yang vital dalam memberikan dan mewujudkkan supremasi hukum di tanah air termasuk di wilayah Provinsi Maluku.

Setidaknya perkara dugaan tipikor yang diusut khususnya oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku kini dan kedepan diharapkan dapat diselesaikan di meja hijau, bukan berkahir di tengah jalan seperti yang sudah terjadi pada sejumlah kasus dugaan tipikor tersebut di atas.

Istilah tebang pilih dalam penanganan kasus dugaan korupsi di wilayah Maluku harus dibuang jauh-jauh dari benak para insan Adhyaksa Ambon dan Maluku.

Prinsipnya, siapapun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi patut untuk ditindak bukan dibela dengan alasan yang tdak rasional bahkan mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. (*)

 

Editor : Redaksi