HUKUM sebagai pangilma mestinya betul-betul diletakkan pada relnya. Penerapan hukum di Negara ini termasuk Provinsi Maluku dan khususnya di wilayah Kota Ambon mestinya “tajam” ke mana-mana. Bukan sekadar tajam ke bawah, dan sebaliknya tumpul ke atas.

Beberapa kasus atau perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), dan dugaan gratifikasi yang kami ulas disini yakni sempat getol ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon, dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, dan menjadi sorotan atau konsumsi publik di Maluku.

Tetapi ujung-ujungnya, penanganan sejumlah kasus/perkara dugaan tipikor tersebut proses hukumnya justru dihentikan di tengah jalan oleh Korps Adhyaksa di Maluku.

Alasan yang dipakai oleh pihak Kejari Ambon dan Kejati Maluku di balik penghentian pengusutan sejumlah kasus itu pun juga bervariasi.

Misalnya tidak memiliki cukup bukti. Adapula alasan penghentian beberapa kasus dugaan tipikor itu karena para pihak terkait telah mengembalikan kerugian keuangan negara kepada Kejaksaan.

Penanganan dan penghentian sejumlah kasus dugaan korupsi ala Kejari Ambon dan Kejati Maluku tersebut kini menyisakan tanda tanya di tengah publik Maluku.

Berikut ini beberapa kasus dugaan tipikor yang ditangani oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku pada 2021 hingga 2022 endingnya proses hukum dihentikan.

Sebut saja kasus dugaan tipikor anggaran proyek pembangunan Jalan lingkar pulau Wokam Kabupaten Kepualauan Aru, Maluku, tahun anggaran 2018 senilai Rp.36,7 miliar.

Pada awal Januari 2022, kasus ini dihentikan oleh tim penyelidik Kejati Maluku di bawah pimpinan Asisten Intelijen Kejati Maluku Muji Martopo.

Alasan Kejati Maluku menghentikan pengusutan kasus ini minim bukti dan fakta lapangan pekerjaan fisik proyek dimaksud diklaim tidak ada penyimpangan anggaran di dalamnya.

Tenaga ahli konstuksi yang dipakai untuk memeriksa fisik proyek tersebut juga ganti-ganti. Ahli pertama menyebut ada penyimpangan dalam pekerjaan fisik proyek tersebut.

Tapi ahli kedua yang dipakai oleh Kejati Maluku dari Poltek Negeri Ambon justru menyebut fisik proyek jalan lingkar pulau Wokam itu tidak bermasalah alias pekerjaannya sudah sesuai prosedur.

Anehnya, kasus ini ditangani oleh empat Kajati Maluku. Yaitu Triyono Haryanto, Yudi Handono, Rorogo Zega, dan Undang Mugopal.

Di masa kepemimpinan Undang Mugopal atau setelah Rorogo Zega dimutasikan, kasus ini lalu ditutup pada Desember 2021 lalu oleh Kajati Maluku Undang Mugopal, dengan alasan kontraktor Thimotius Kaidel telah mengembalikan kerugian keungan negara sebesar Rp4,2 miliar.

Berikutnya, kasus dugaan tipikor proyek pembangunan gedung Fakultas MIPA dan Marine Center Kampus Universitas Pattimura senilai Rp60,9 Miliar. Kerugian negara mencapai Rp613 juta.

Pengusutan kasus ini juga dihentikan dan diumumkan pada November 2021 lalu oleh pihak Kejari Ambon dengan alasan belum ada penyelesaian pembayaran dari pemilik proyek kepada kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut sebesar Rp4 Miliar.

Kerugian negara mencapai Rp613 juta dari spek yang dikerjakan alasannya tidak dihitung oleh pihak auditor. Padahal status hukum kasus ini sudah di tingkat penyidikan.

Adapula kasus dugaan gratifikasi Eva Elia, istri dari Bupati Kabupaten Maluku Tenggara juga telah dihentikan pengusutannya dihentikan di mana diumumkan oleh Kejati Maluku pada 22 Juli 2021 lalu.

Alasan di balik penghentian kasus ini pihak Kejati Maluku mengklaim laporan yang menyebut ada dugaan gratifikasi tidak terbukti secara hukum.

Setelah pengusutan kasus ini ditutup, tak lama kemudian Rorogo Zega [eks Kajati Maluku] dimutasikan oleh Kajagung RI.

Padahal sebelumnya puluhan orang telah dimintai keterangan atau diperiksa oleh tim penyelidik Kejati Maluku.

Selain itu, kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan alat simulator Kampus Politeknik Negeri Ambon juga pengusutannya telah ditutup oleh pihak Kejati Maluku.

Disusul kasus dugaan penyimpangan dana klaim Covid-19 pada RSUD dr. Ishak Umarela, Tulehu, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, tahun anggaran 2020 mencapai Rp12 miliar proses hukumnya juga dihentikan oleh pihak Kejati Maluku.

Alasan yang dipakai oleh pihak Kejati Maluku, katanya tidak ada temuan kerugian keuangan negara.

Kasus ini diusut oleh Kejari Ambon lalu diambil-alih oleh Kejati Maluku pada November 2021 lalu, seterusnya ditutup setelah puluhan orang atau pihak terkait dimintai keterangan oleh tim penyelidik Kejari Ambon.

Terkini, Februari 2022 kasus dugaan tipikor anggaran Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun anggaran 2020 yang mana temuan BPK RI menyebut ada kerugian negara mencapai Rp5,3 miliar juga dihentikan oleh Kejari Ambon.

Kasus ini menyita perhatian publik Kota Ambon. Sebab, seluruh wakil rakyat Kota Ambon periode 2019-2024 termasuk tiga pimpinan DPRD Kota Ambon diduga menerima uang Rp5,3 miliar yang disebut oleh BPK merupakan kerugian negara.

Awalnya pihak Kejari Ambon bersemangat mengusut kasus ini. Mereka meminta atau memeriksa seluruh anggota dan tiga pimpinan DPRD Kota Ambon.

Sejumlah ASN dan mantan Sekretaris DPRD Kota Ambon serta Sekretaris DPRD Kota Ambon masih aktif juga telah dimintai keterangan. Beberapa orang pejabat teras di lingkup Pemkot Ambon juga sempat dimintai keterangan oleh jaksa.

Giliran kasus ini mau naik status ke penyidikan, justru pengusutannya dihentikan oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku dengan alasan para pihak terkait dengan kasus ini sudah mengembalikan uang kerugian negara.

Pasca sejumlah kasus tersebut dihentikan oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku, spekulasi atau wacana pun bermunculan.

Kejari Ambon dan Kejati Maluku dinilai belum komitmen dalam memberantas kasus dugaan tipikor di wilayah Maluku. Issue tebang pilih pun disematkan oleh publik kepada pihak Kejari dan Kejati Maluku.

Penyelesaian kasus dugaan tipikor di harapkan Korps Adhyaksa melakukan proses hukum secara jujur dan adil.

Asas kemanfaatan hukum, keadilan dan kepastian hukum mesti digunakan dan menjadi kompas atau pengarah bagi tiap insan Adhyaksa Ambon dan Maluku dalam menangani kasus atau perkara dugaan tipikor.

Penegakan supremasi hukum oleh pihak Korps Adhyaksa Ambon dan Maluku khusus dalam upaya penumpasan korupsi di wilayah provinsi seribu pulau, patut menghindari istilah order kasus.

Begitu juga dalam penyelesaian kasus dugaan tipikor dan gratifikasi di wilayah Maluku, tidak harus dilakukan melalui undertable alias di bawah meja.

Sebaliknya, penyelesaian kasus-kasus tersebut patut dilakukan dengan merujuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terlebih lagi bila sudah memiliki bukti yang kuat atau cukup, hendaknya diproses hingga ke meja hijau.

Keputusan siapa yang benar dan salah dalam setiap penanganan kasus atau perkara dugaan tipikor dan gratifikasi, ihwal tersebut merupakan kewenangan hakim pada pengadilan. Bukan kewenangan pihak Kejaksaan.

Aparatur kejaksaan dalam hal ini jaksa penyelidik dan jaksa penyidik bertugas melakuikan pengusutan lalu melimpahkan perakra ke pengadilan.

Sebaliknya tugas jaksa bukan ansih memutuskan perkara di tengah jalan tanpa ada proses persidangan di pengadilan.

Harapannya, sejumlah kasus dugaan tipikor oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku yang telah dihentikan di atas, semoga sudah sesuai dengan ketentuan, dan bukan karena ada tekanan atau intervensi dari siapapun.

Patut di garis bawahi disini, korupsi sudah menjadi musuh bersama bagi bangsa ini termasuk Maluku.

Sebab, pratik kotor oknum-oknum tertentu hanya memperkaya diri pribadi dan keluarga. Sebaliknya perbuatan keji mereka hanya menyengsarakan rakyat Indonesia termasuk Maluku.

Semangat Pemerintahan RI di bawah kepemimpjnan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin yakni memberantas korupsi di tahan air, mesti didukung oleh seluruh insan Indonesia termasuk di Maluku.

Tentunya, motor pemberantasan korupsi ini selain lembaga KPK, tugas mulai tersebut patut dilakukan dengan komitmen oleh setiap aparatur Kejaksaan dan Kepolisian.

Tiga lembaga penegak hukum di negara ini punya tugas dan fungsi yang vital dalam memberikan dan mewujudkkan supremasi hukum di tanah air termasuk di wilayah Provinsi Maluku.

Setidaknya perkara dugaan tipikor yang diusut khususnya oleh Kejari Ambon dan Kejati Maluku kini dan kedepan diharapkan dapat diselesaikan di meja hijau, bukan berkahir di tengah jalan seperti yang sudah terjadi pada sejumlah kasus dugaan tipikor tersebut di atas.

Istilah tebang pilih dalam penanganan kasus dugaan korupsi di wilayah Maluku harus dibuang jauh-jauh dari benak para insan Adhyaksa Ambon dan Maluku.

Prinsipnya, siapapun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi patut untuk ditindak bukan dibela dengan alasan yang tdak rasional bahkan mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. (*)

 

Editor : Redaksi